Maraknya mafia di semua sektor pelayanan kemasyarakatan membuat bangsa ini merenungkan kembali arah dan tujuan pendidikannya.Bertaburannya koruptor, politikus yang tidak beradab, kriminalitas, penyimpangan seksual, tawuran, dan sejuta penyelewengan moral lainnya telah membuat para pemangku kebijakan negeri ini merenungkan kembali esensi pendidikan.Menurut mereka pendidikan selama ini telah mengabaikan aspek pembangunan karakter bangsa.Sayang sekali, sebuah kesadaran yang sangat terlambat.
Mendidik Karakter Bangsa
“Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali.”Mungkin ujaran ini bisa dinilai tepat terkait kesadaran yang terlambat dari pemerintah tentang pendidikan karakter ini.Hal itu setidaknya terlihat dari peringatan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) 2010 yang mengangkat tema Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa.Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh dalam hal ini menjelaskan, sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak untuk diterapkan.
“Diantara karakter yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran,” kata Mendiknas saat memberikan sambutan Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Jakarta, Minggu (2/5/2010).
Mendiknas mencermati fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat.“Memang kadang-kadang menjadi lucu dan mengherankan, betapa tidak mengherankan, penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum ternyata harus dihukum.Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik.Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu adalah sebagian dari fenomena sirkus tadi itu.Itu semua bersumber pada karakter,” kata Mendiknas.
Perhatian terhadap pendidikan karakter ini kemudian diperlihatkan kembali oleh Presiden SBY dalam puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional yang berlangsung di Istana Negara, Jl. Veteran, Jakarta (11/5/2010).”Character building(pembangunan karakter –red) sudah mulai kita lupakan,” demikian tegas Presiden. Presiden pun kemudian berharap agar pendidikan karakter ini betul-betul diterapkan.
Dua bulan sebelum itu, Mendiknas menyelenggarakan Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Pusdiklat Pegawai Kementerian Pendidikan Nasional, Depok, Jawa Barat, berlangsung pada 2 s.d 4 Maret 2010 dengan mengangkat tema Meningkatkan Jaminan Layanan Pendidikan Berkualitas yang Terjangkau oleh Semua. Dalam sambutannya, Mendiknas menjelaskan bahwa acara Rembuk Nasional tersebut diselenggarakan guna memberikan jawaban atas pergeseran paradigma pendidikandewasa ini. Mendiknas menyebutkan lima pergeseran paradigma pendidikan, dua di antaranya tentang pendidikan holistik dan pendidikan karakter.
Pergeseran paradigma pendidikan yang pertama, kata Mendiknas, adalah hak belajar.“Wajib belajar” sembilan tahun bergeser menjadi “hak belajar” sembilan tahun.“Masyarakat, warga bangsa, punya hak untuk menuntaskan sembilan tahun itu.Kalau itu menjadi hak maka kita semua, pemerintah, negara, harus menyiapkan mulai dari sarana, prasarana, dan bisa kita jamin bahwa siapapun bisa menuntaskan sembilan tahun untuk belajar,” katanya.
Mendiknas melanjutkan, paradigma kedua adalah kesetaraan dalam pendidikan.Menurutnya, ada warga yang memerlukan layanan yang khusus.Kelompok khusus tersebut, kata Mendiknas, dapat disebabkan karena faktor kewilayahan, seperti tinggal di daerah perbatasan dan terpencil, atau karena faktor fisik.“Rumus umumnya, seseorang, kelompok, yang berstatus khusus maka layanannya pun harus khusus.Jangan statusnya khusus, tetapi layanannya umum,” katanya.
Kemendiknas, kata Mendiknas, akan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk mensyaratkan bangunan-bangunan agar dapat memfasilitasi bagi warga masyarakat yang berkebutuhan khusus. “Kita tekankan betul siapapun yang akan membangun bangunan sekolah, fasilitas kampus, dan seterusnya,tolong tambahi akses untuk saudara-saudara kita itu,” ujarnya.
Lebih lanjut Mendiknas menyampaikan, paradigma ketiga adalah pentingnya pendidikan yang komprehensif atau holistik.Pendidikan harus mampu mengeksplorasi seluruh potensi anak.“Potensi-potensi yang berupa kekuatan batin, karakter, intelektual, dan fisik. Semuanya itu harus kita integrasikan menjadi sesuatu kekuatan dari sang anak itu,” katanya.
Mendiknas juga menekankan tentang pentingnya pendidikan karakter. Menurut Mendiknas, bobot atau persentase tentang pendidikan karakter perlu mendapatkan perhatian khusus mulai dari jenjang pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai perguruan tinggi. “Oleh karena itu, kami ingin menegaskan, menekankan kembali, dan ini menjadi kesadaran kita semua.Kami sangat yakin tentang pentingnya pendidikan karakter,” katanya.
Paradigma keempat, sebut Mendiknas, adalah fungsi sekolah. Sekolah-sekolah negeri, kata Mendiknas, ke depan bergeser menjadi sekolah publik. Pergeseran ini, menurutnya, akan membawa dampak yang luar biasa. “Sebelumnya sekolah negeri hanya dipakai siswa untuk aktivitas belajar dari siswa itu saja. Kalau sekolah publik ada ekspansi fungsi dan pemanfaatan, ” katanya.
Mendiknas menjelaskan, tidak hanya siswa dari sekolah itu yang dapat memanfaatkan, tetapi pada sore hari dapat dimanfaatkan anggota masyarakat dengan koridor yang terkendali.“Janganlah sekolah negeri itu hanya dikungkung ini milik saya saja, tetapi sekolah negeri itu hakekatnya adalah sekolah publik karena investasinya untuk publik. Tanggung jawab dan tugas kita adalah bagaimana mengekspansi agar sekolah-sekolah negeri bisa memberikan layanan seluas-luasnya, ” katanya.
Adapun paradigma terakhir, kata Mendiknas, adalah dasar pemikiran. Mendiknas menjelaskan, sekolah yang tadinya berdasarkan sisi pasokan (supply oriented) bergeser menjadi berdasarkan kebutuhan (demand oriented). “Kita harus memberikan layanan kebutuhan siswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua.Dari situlah nanti ujungnya kenapa sekarang bergeser orientasinya yaitu ingin memberikan keterjaminan dalam layanan itu karena memang tugas kita adalah memberikan layanan,” katanya sebagaimana dilaporkan mediacenter kemendiknas.
Implementasi Pendidikan Karakter
Menurut Guru Besar Pendidikan Islam UIN Bandung, Ahmad Tafsir, Mendiknas M. Nuh adalah satu-satunya Mendiknas yang memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan karakter. Menurutnya, dari sejumlah Menteri Pendidikan yang pernah ada, baru Menteri yang ini yang berani berbicara serius tentang pentingnya pendidikan karakter, dan itu ditunjukkan dengan menyelenggarakan acara Rembuk Nasional guna membahas implementasinya.
Dari sejak Orde Baru, Presiden Soeharto memang pernah mengemukakan gagasan pendidikan budi pekerti, akan tetapi tidak pernah berhasil diterjemahkan oleh menterinya dalam wujud program yang nyata. Bahkan Menteri Wardiman Djojonegoro sampai menyatakan bahwa yang menjadi masalah besar pendidikan itu bukan karakter/budi pekerti, melainkan lulusan yang tidak sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.Akibatnya, pendidikan pun hanya diorientasikan pada lapangan kerja, dengan mengabaikan urgensi pendidikan karakter.Maka dari itu, menurut Ahmad Tafsir, semuanya tentu berharap agar Menteri M. Nuh bisa betul-betul mengimplementasikan pendidikan karakter ini dalam wujud yang lebih nyata.
Dalam pengamatan Ahmad Tafsir, sebenarnya dasar negara Pancasila dan UUD 45 sudah memberikan landasan yang cukup ideal bagi pelaksanaan pendidikan karakter ini.Pancasila, menurutnya, menghendaki agar keempat silanya mengarah pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana tercermin dalam gambar resmi Pancasila.Itu artinya semua sila harus berdasar dan kembali pada keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa.Dalam UUD 45 lebih tegas lagi sebagaimana tertuang dalam Mukaddimahnya.Dan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 2/1989 dan 20/2003 pun kedudukan pendidikan karakter ini sudah diakui walau tidak dengan tegas.Akan tetapi dalam implementasi kurikulum sekolah konsep pendidikan karakter ini hilang.Ia gagal turun pada tahap operasional. Menurut Ahmad Tafsir, di sinilah kekeliruan besar dalam pendidikan Indonesia selama ini, bahkan sejak kemerdekaan. Sehingga Ahmad Tafsir pun berharap agar Mendiknas M. Nuh betul-betul mampu mengimplementasikannya dalam kurikulum sekolah.
Penilaian bahwa pendidikan karakter gagal turun dalam kurikulum sekolah terlihat pada pembebanan tanggung jawabnya yang hanya diserahkan kepada guru agama.Padahal semestinya, pendidikan karakter ini menjadi tanggung jawab kepala sekolah, semua guru, semua karyawan, bahkan kantin sekolah.Maka dari itu tidak heran, jika pendidikan karakter kemudian gagal menerap pada siswa-siswa sekolah, termasuk mahasiswa di perguruan tinggi.Tandanya, tawuran meningkat, kenakalan remaja mewabah, penyimpangan moral terjadi di mana-mana, dan semacamnya.
Menelusuri Gagasan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, pendidikan nilai, adalah istilah-istilah yang sama dan saling beririsan. Istilah-istilah tersebut muncul ke permukaan seiring penemuan terbaru para pakar pendidikan dunia tentang hal yang paling esensi dari pendidikan.Daniel Goleman dari Harvard University menghentakkan dunia kontemporer lewat gagasanemotional intellegence (kecerdasan emosional) pada akhir 1990-an. Menurutnya kecerdasan manusia itu tidak hanya kecerdasan intelektual saja, melainkan juga kecerdasan emosional.Ia berani meyakinkan bahwa yang paling penting dari keduanya itu adalah kecerdasan emosional. Oleh karena itu sudah saatnya kecerdasan anak didik diarahkan juga pada kecerdasan emosional.
Danah Zohar kemudian menghentakkan lagi dunia pendidikan lewat penemuannya tentang spiritual quotient (kecerdasan spiritual).Guru Besar dari Oxford University ini menyatakan, kecerdasan emosional saja tidak cukup, melainkan juga harus mengarah pada kecerdasan spiritual, karena manusia adalah makhluk yang memiliki god spot (sel ketuhanan) di dalam dirinya.Naluri ketuhanannya itu harus dipenuhi dengan pendidikan spiritual, sehingga ia menjadi manusia yang seutuhnya. Ide Danah Zohar dan Daniel Goleman ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ yang memadukan kecerdasan emosional dan spiritual.
Ide pendidikan yang mengarah pada karakter manusia seutuhnya ini pada abad ke-19 pernah dikemukakan oleh pakar pendidikan Jerman, JW. Foerster (1869-1966). Menurut dia pendidikan yang diarahkan pada sains sebagaimana tuntutan madzhab positivisme ternyata telah mengeringkan manusia dari nilai-nilai. Oleh karena itu ia pun menekankan pentingnya pendidikan nilai dalam dunia pendidikan, tidak hanya pendidikan otak.
Dalam khazanah filsafat, ide ini juga telah dikemukakan oleh banyak filosof dari sejak beberapa abad yang lalu.Makanya tidak heran jika dalam salah satu kajian filsafat ada cabang etika dan estetika.Etika menilai baik buruknya sesuatu, sedangkan estetika menilai indah tidaknya sesuatu.Hanya karena basis filsafat akal, maka otomatis yang menjadi ukuran etika pun adalah akal.Etika dalam khazanah filsafat selalu diukurkan pada akal, sehingga sifatnya relatif. Homoseks mungkin secara akal dahulu dinilai tidak baik, akan tetapi tidak mustahil seiring perubahan zaman, hari ini akal memandang homoseks sesuatu yang baik-baik saja.Dilatarbelakangi faktor seperti inilah maka kajian etika dalam filsafat kalah pamor dari kajian tentang akal/intelek itu sendiri, karena memang ujung-ujungnya tergantung akal juga.
Walaupun begitu, trend pemikiran pendidikan yang mengarah pada karakter baru betul-betul menggema di peralihan abad 20-21 ini.Peran Daniel Goleman dan Danah Zohar menjadi kuncinya.Jika hendak disebutkan alasannya, karena corak pendidikan, Indonesia khususnya, sangat didominasi oleh Barat yang berorientasi akal.Corak seperti ini menjadi bakuselama beberapa abad dan baru bisa dimentahkan oleh orang-orang Barat sendiri. Kemudian ketika di Barat coraknya berubah menjadi mengarah ke emosional dan spiritual, maka otomatis Indonesia yang cenderung membebek pada Barat pun ikut arus tersebut dan mulai menjabarkan pola pendidikan yang mengarah pada emosional dan spiritual.
Semua itu berlaku, tentunya, pada dunia pendidikan yang membebek pada Barat semisal sistem pendidikan nasional. Karena untuk dunia pendidikan Islam, jelas hal yang sama tidak berlaku. Dalam dunia pendidikan Islam dari sejak lama sudah dikenal pola pendidikan seperti pesantren, surau, madrasah, dan kemudian akhir-akhir ini bermatmorfosa menjadi Sekolah Islam Terpadu.Di semua pola pendidikan tersebut, pendidikan karakter selalu menjadi orientasinya, bahkan menjadi orientasi yang utama.
Problematika Pendidikan Karakter
Mencermati “keterlambatan” ide pendidikan karakter ini—tentunya daripada tidak sama sekali—secara otomatis memunculkan kegembiraan sekaligus kecemasan. Gembira karena esensi pendidikan yang selama ini dilupakan oleh bangsa Indonesia sudah mulai disadari urgensinya oleh pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini.Dan cemas karena ternyata rumusan implementasi dari pendidikan karakter itu sendiri masih dicari bentuknya.Apa paradigma “karakter” yang akan digunakan oleh bangsa ini? Dan bagaimana implementasinya dalam kurikulum sekolah?
Dalam persoalan paradigma, tidak bisa dinafikan bahwa definisi dari karakter itu sendiri masih menyisakan persoalan. Beberapa pihak mungkin akan berpendapat bahwa karakter/budi pekerti itu adalah nilai-nilai universal yang disepakati oleh semua manusia. Akan tetapi justru dari universalitasnya itulah pendidikan karakter menyisakan persoalan.Ambil contoh misalnya, tentang nilai baik dan jelek. Semua orang pada prinsipnya mudah memahami apa yang dimaksud “anak yang baik” itu. Jawabannya tidak akan jauh dari suka menolong, jujur, rajin membantu orang tua, dan baik kepada sesama. Akan tetapi ketika hendak diturunkan pada haruskah menolong teman yang akan merayakan Natal padahal si anak itu seorang Muslim; haruskah mengucapkan selamat Natal kepada temannya yang beragama Kristen; dan bagaimana sikap anak yang baik ketika orang tuanya menyuruhnya untuk menikahi wanita yang tidak seagama dengannya. Dalam kasus-kasus seperti ini maka pendidikan karakter menyisakan persoalan.
Dari contoh kasus tersebut bisa terlihat bahwa pendidikan karakter itu walau bagaimanapun akan senantiasa terikat dengan pedoman nilai utamanya, yakni agama. Mungkin benar dalam hal-hal tertentu karakter/budi pekerti itu merupakan nilai yang universal,akan tetapi tetap saja akan banyak nilai-nilai lainnya yang tidak bisa dikompromikan jika sudah bersangkut paut dengan agama.Oleh karena itu maka mau tidak mau, pendidikan karakter ini tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai agama.Jika merujuk pada UUD 45, tentunya sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Dari paradigma ini maka akan sangat tidak tepat jika pendidikan karakter menjadi mata pelajaran tersendiri di samping mata pelajaran agama. Kalau dalam contoh kasus di atas, si anak menerima pelajaran dari mata pelajaran pendidikan karakter bahwa mengucapkan selamat Natal sangat dianjurkan, sementara dari mata pelajaran pendidikan agama hal tersebut diharamkan, si anak pasti akan memandang bahwa dua nilai yang bertentangan itu sederajat, karena sama-sama mata pelajaran, dan ujung-ujungnya hanya tinggal memilih saja. Itu artinya jika pendidikan karakter dipisahkan dari pendidikan agama sama saja artinya dengan menceraiberaikan nilai-nilai karakter dari nilai-nilai agama. Padahal sebagaimana disinggung di atas, pendidikan karakter mutlak harus berbasis pada agama.
Akan tetapi sebagaimana disinggung sebelumnya, dalam tataran implementasinya pun sebenarnya pendidikan karakter ini masih menyisakan persoalan. Hal itu disebabkan ia masih mencari bentuk terbaiknya harus seperti apa pendidikan karakter ini diimplementasikan. Apakah menjadi mata pelajaran tersendiri, disatukan dengan mata pelajaran agama, dipadukan dengan semua mata pelajaran, ditunjuk satu guru khusus untuk menjadi penanggung jawabnya sebagaimana guru BP (bimbingan dan penyuluhan), diaplikasikan lewat kantin kejujuran, atau bagaimana.Hal ini sangat wajar terjadi karena memang gagasannya pun baru muncul kemarin dan baru akhir-akhir ini saja dicoba untuk dirumuskan dengan serius.
Alasan lainnya yang paling tepat adalah karena nilai-nilai pendidikan karakterdirujukkan pada nilai-nilai yang berproses sesuai proses sejarah (peradaban Barat). Nilai-nilai yang tidak pernah bisa memastikan bagaimana kedudukan pastinya hubungan seks di luar nikah, bagaimana kedudukan homoseks, bagaimana adab kesopanan anak kepada orangtua, bagaimana batasan kesopanan pakaian wanita, dan lain sebagainya.Jika saja pendidikan karakter itu nilai-nilainya dirujuk pada Islam,tentu persoalannya akan menjadi mudah diselesaikan,karena dalam Islam nilai kebaikan tidak pernah berproses. Zina dari sejak awal, kedudukannya haram dan sampai hari kiamat pun akan tetap haram. Mengucapkan selamat (salam) kepada orang kafir hukumnya haram, dan sampai hari kiamat pun tetap akan haram. Minum khamr dari sejak al-Qur`an turun sudah dinyatakan haram, dan sampai hari kiamat pun akan tetap haram, walau dengan kadar yang sepersekian persen. Judi dengan segala bentuknya kedudukannya haram, dan sampai hari kiamat pun akan tetap haram walau dijadikan dalih untuk pembangunan.Batasan kesopanan pakaian wanita pun dari sejak awal sudah final dan tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat. Inilai nilai-nilai yang teguh untuk dijadikan sumber nilai bagi pendidikan karakter.
Wal-‘Llahu a’lam
Sumber : Pemikiran Islam. Net