Pengaruh Pola Asuh terhadap Perkembangan Bahasa Anak
- Potensi yang dimiliki Anak
Setiap insan
memiliki potensi yang sama untuk menguasai bahasa. Proses dan sifat penguasaan
bahasa setiap orang berlangsung dinamis dan melalui tahapan berjenjang. Dalam
hal ini dikenal dua istilah yakni pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
Kridalaksana (2001: 159) mendefinisikan pemerolehan bahasa (language
acquisition) sebagai proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada manusia
melalui beberapa tahap, mulai dari meraban sampai kefasihan penuh; sedangkan
pembelajaran bahasa (language learning) diartikan sebagai proses dikuasainya
bahasa sendiri atau bahasa lain oleh seorang manusia. Krashen (dalam Johnson
& Johnson, 1999: 4) menyifati pemerolehan sebagai proses alami yang
berlangsung tanpa adanya perhatian secara sadar terhadap bentuk-bentuk
linguistis; kondisi minimal pemerolehan ialah partisipasi dalam situasi
komunikasi yang alami. Adapun pembelajaran merupakan proses yang terjadi secara
sadar yang oleh Krashen ditandai dengan dua karakteristik: adanya umpan balik
dan pengisolasian kaidah. Sebagian ahli mengeritik gagasan Krashen karena
dianggap tidak mampu membedakan kedua proses tersebut secara memuaskan (Johnson
& Johnson, 1999: 4). Terlepas dari itu, para ahli bersepakat bahwa aspek
yang terpenting dalam pemerolehan bahasa adalah fungsi bahasa. Salah satu
fungsi bahasa adalah alat berkomunikasi. Karena itu, seseorang yang sering
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi akan semakin tinggi tingkat kompetensi
dan performansinya. Dengan kata lain, faktor interaksi akan lebih menentukan
keberhasilan seseorang dalam penguasaan bahasa.
Keberhasilan Anak
Tulisan ini
berupaya menyajikan sebuah pola asuh orangtua terhadap anak. Penulis percaya
bahwa pola asuh yang kreatif, inovatif, seimbang, dan sesuai dengan tahap
perkembangan anak akan menciptakan interaksi dan situasi komunikasi yang
memberi kontribusi positif terhadap keterampilan berbahasa anak. Dengan kata
lain, kealamian pemerolehan bahasa tidak dibiarkan mengalir begitu saja, tetapi
direkayasa sedemikian rupa agar anak mendapat stimulus positif sebanyak dan
sevariatif mungkin. Dengan demikian, diharapkan anak tidak akan mengalami
kesulitan ketika memasuki tahap pembelajaran bahasa untuk kemudian menjadi
sosok yang terampil berbahasa.
Secara mentali,
pemerolehan bahasa bisa dimulai sejak bayi masih berada dalam kandungan. Sang
ibu bisa mengajak bayi berkomunikasi tentang hal yang positif. Kontak batin
antara ibu dan janin akan tercipta dengan baik bila kondisi psikis ibu dalam
keadaan stabil. Keharmonisan yang terjalin lewat komunikasi bisa memengaruhi
kejiwaan anak. Orangtua bisa mengajak anak bercerita tentang kebesaran Sang
Pencipta dan alam ciptaan-Nya; mengenalkannya pada kicau burung, kokok ayam,
rintik hujan, desir angin; memperdengarkan Kalam Ilahi atau membacakan kisah-kisah
bijak. Yudibrata dkk. (1998: 65-72) menjelaskan bahwa selama bulan-bulan
pertama pascalahir atau sebelum seorang anak mempelajari kata-kata yang cukup
untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi, anak secara kreatif terlebih
dahulu akan menggunakan empat bentuk komunikasi prabicara (preespeech). Keempat
prabicara itu adalah tangisan, ocehan/celoteh/meraban, isyarat, dan ungkapan
emosional. Menurut para pakar, perkembangan pemerolehan bahasa pada anak sangat
berhubungan dengan kematangan neuromoskularnya yang kemudian dipengaruhi oleh
stimulus yang diperolehnya setiap hari (Yudibrata, 1998: 72-73). Awalnya, tidak
ada kontrol terhadap pola tingkah laku termasuk tingkah laku verbalnya. Vokal
anak dan otot-otot bicaranya bergerak secara refleks. Pada bulan-bulan pertama
otaknya berkembang dan mengatur mekanisme saraf sehingga gerakan refleks tadi
sudah dapat dikontrol. Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah atau mulut.
Misalnya, anak akan mengedipkan mata kalau melihat cahaya yang berubah-ubah atau
bibirnya akan bergerak-gerak ketika ada sesuatu disentuhkan ke bibirnya.
Selanjutnya, dalam rangka memerikan perkembangan pemerolehan bahasa, Stork dan
Widdowson (dalam Yudibrata, 1998: 73) membedakan antara kematangan menyimak
(receptive language skills) dan kematangan mengeluarkan bunyi bahasa atau
berbicara (expressive language skills). Kematangan menyimak terjadi lebih
dahulu daripada kematangan berbicara meskipun dalam perkembangan selanjutnya
kedua kematangan ini saling berhubungan.
Pada awal kelahirannya,
anak belum dapat membalas stimulus yang berasal dari manusia. Seiring dengan
berfungsinya alat artikulasi, yakni ketika anak sudah mulai berceloteh dengan
bunyi bilabial seperti [m] untuk ma-ma dan [p] untuk pa-pa atau [b] untuk
ba-ba, orangtua sudah bisa melakukan interaksi bahasa dengan anak. Satu hal
yang perlu diingat, ma-ma dan pa-pa sebagai celotehan anak bukan merujuk pada
makna kata secara harfiah yang berarti ibu dan ayah, melainkan karena
semata-mata bunyi konsonan bilabial dan vokal [a] adalah bunyi yang mudah
dikuasai pada saat permulaan berujar. Dari keterampilan ini bisa terjalin
suasana yang lebih komunikatif antara orangtua dan anak yang berdampak pada
perkembangan selanjutnya. Dampaknya bisa positif bisa juga negatif. Semakin
baik stimulus yang diberikan orangtua, semakin positif respon yang dimunculkan
anak.
Untuk melatih
keterampilan menyimak, orangtua bisa menggunakan metode simak-dengar dengan
menyuguhi anak cerita yang disukainya. Penceritaan langsung tanpa menggunakan
buku sekali-kali perlu dilakukan untuk perubahan suasana. Bercerita langsung
dengan kata-kata sendiri yang dimengerti anak akan memberi efek lebih pada
penceritaannya. Kegiatan bercerita ini hendaknya dilakukan dengan menggunakan
bahasa ibu (bahasa pertama anak).
Keterampilan
menyimak akan berdampak pada keterampilan berbicara. Stimulus orangtua yang
berupa data simakan bagi anak bisa direspon dengan metode ulang-ucap. Metode
ini akan menunjukkan daya serap anak terhadap cerita atau ujaran orangtua. Pada
tahapan ini, orangtua sebaiknya mengubah posisi dari posisi pencerita menjadi
pendengar yang baik. Biarkan anak bercerita dengan lugas menurut pemahamannya.
Ini bisa membantu anak dalam proses berbicara. Orangtua jangan menuntut anak
untuk bercerita sesuai dengan gaya
penceritaan orangtua. Hal itu akan membuat jiwa anak tertekan dan terhambat
daya kreativitasnya dalam berbahasa. Terkadang anak ingin berbagi cerita
tentang suatu hal yang baru dialami atau didapatinya dan ia akan sangat senang
jika orangtuanya mau meluangkan sedikit waktu untuk duduk bersamanya dan
mendengarkan celoteh riangnya. Namun, ada kalanya anak enggan bercerita sama
sekali. Jika ini terjadi, jangan paksa anak untuk bercerita. Kondisi psikis
anak tidak selalu dalam keadaan yang stabil. Seringkali timbul sensitivitas
yang memengaruhi sisi kejiwaannya sehingga muncul perasaan kesal, marah, atau
benci pada sesuatu hal. Dialog atau komunikasi interpersonal antara orangtua
dan anak bisa menjadi alternatif solusi. Buanglah anggapan bahwa itu merupakan
hal sepele yang lumrah terjadi dan anak akan pulih dengan sendirinya.
Seiring dengan
perkembangannya, anak akan mencari dan menemui wahana lain yang membuka peluang
lebih untuk mengekspresikan keterampilan yang telah ada. Kenalkanlah anak pada
buku. Mengenal dunia baru melalui bahasa nonverbal ini akan atau bisa menjadi
keasyikan tersendiri bagi anak. Adanya perpustakaan mini di salah satu sudut
ruang rumah akan memancing anak untuk mengunjungi wisata ilmu. Dengan buku,
anak memunyai berbagai perspektif atau sudut pandang yang luas mengenai suatu
objek. Untuk permulaan, orangtua bisa memilih buku yang sesuai dengan usia
perkembangan dan daya nalar anak. Jika anak memunyai ketertarikan pada sebuah
buku, maka berikanlah selama muatan buku tersebut masih wajar bagi anak. Jika
anak menanyakan sesuatu yang terdapat di dalam buku, maka jawablah dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami anak. Jangan merasa bosan atau jenuh
jika anak meminta orangtua untuk membuka dan membaca buku secara
berulang-ulang. Bersenang-hatilah jika anak menemui suatu hal baru yang
membuatnya ingin mengetahui dan menanyakannya pada orangtua. Hindarilah
perasaan jengah untuk merapikan kembali buku-buku yang telah dibaca.
Sebagaimana keterampilan sebelumnya, proses ini pun akan optimal jika dilakukan
oleh dua pihak, orangtua dan anak. Keterlibatan orangtua dengan
mendemontrasikan kegiatan membaca di depan anak merupakan stimulus yang baik
bagi anak. Sesuai dengan naluri anak yang memiliki kecenderungan ingin meniru
hal yang orang lain lakukan, hendaknya hal yang menjadi refleksi sikap anak
adalah sesuatu yang bernilai positif.
Kegiatan membaca
bisa mencakup keterampilan menyimak dan berbicara. Hindarilah anggapan bahwa
membaca adalah aktivitas yang selalu duduk menghadap meja dan dinding kamar.
Orangtua bisa mengarahkan anak pada kegiatan bermain yang melibatkan buku.
Orangtua harus meluangkan waktu untuk menemani anak bercerita. Jika anak ingin
mengolaborasikan keterampilan ini dengan menyimak dan berbicara, berilah
kesempatan kepadanya untuk menjadi seorang pembaca ulung, sekalipun terhadap
boneka-bonekanya. Hal ini tidak akan menjadi kebiasaan karena hanya bersifat
temporal. Pada dasarnya anak ingin melakukan interaksi dengan sesuatu yang bisa
memengaruhi atau dipengaruhinya.
Keterampilan
tertinggi dalam keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis. Ini
merupakan produk akhir dari keterampilan sebelumnya. Dengan menulis, anak bisa
mengekspresikan hasil menyimak, berbicara, dan membacanya ke dalam sebuah
tulisan. Stimulus yang ditawarkan orangtua tidak harus berbentuk perintah coba
tulis, tetapi bisa dengan permintaan coba gambarkan. Sebagai permulaan,
orangtua bisa memperkenalkan anak kepada alat bantu menulis yang tidak hanya
terbatas pada pensil; bisa juga pulpen, spidol, pensil warna, krayon, cat air,
atau bahkan arang. Selain menyediakan media khusus bagi anak untuk mencurahkan
tulisannya, orangtua bisa juga menyediakan lahan lain sebagai media. Misalnya,
salah satu dinding atau tembok di bagian belakang rumah dijadikan kanvas
raksasa bagi lukisan abstraknya. Orangtua bisa melatih keterampilan anak dengan
memberi rangsangan berupa poster aksi yang bisa mendorong minat anak untuk
merespon dengan mencoba meniru objek yang sudah ada. Dalam hal ini, orangtua
bisa menggunakan poster pengenalan huruf dan angka yang dipasang di
tempat-tempat yang mudah dilihat. Sekali lagi, ini dilakukan hanya untuk
mendorong minat anak untuk mengenal dan bukan untuk memaksa anak agar bisa
dalam satu kali proses. Pada usia pertumbuhan, pemahaman anak tentang bahasa
masih berada dalam tahap abstrak. Misalnya, ketika mendengar kata anjing, yang
terekam dalam skemata anak adalah anjing menggonggong. Pada tahap ini pandangan
anak terhadap kata belum meluas pada penganalogian, masih terbatas pada apa
yang terlihat atau terdengar. Berilah pengertian tentang satu contoh tulisan
dengan objek benda yang berwujud dan bisa dibayangkan oleh imajinasi anak.
Misalnya, menganalogikan huruf vokal <o> dengan sebuah kue donat. Cara
demikian akan mempermudah pemahaman anak sekaligus membantu mengasah daya
ingatnya.
Pola asuh
seperti dipaparkan di atas akan berhasil bilamana orangtua mampu menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa anak. Para
ahli sepakat bahwa pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa
sekitar. Dengan kata lain, perjalanan pemerolehan bahasa seorang anak akan
sangat bergantung pada lingkungan bahasa anak tersebut (Yudibrata, 1998: 65).
Sebelum anak memasuki lingkungan sosial yang lebih luas, masa bermain dan
bersekolah, lingkungan keluarga seyogianya bisa menjadi arena yang menyenangkan
bagi proses perkembangan anak. Rumah adalah sekolah pertama bagi anak, dan
orangtua adalah guru pertama yang bisa mengantar anak menuju gerbang pendidikan
formal. Sebagai guru, orangtua memiliki andil yang besar dalam pendidikan
anaknya, baik dalam segi waktu, materi, dan tenaga. Penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan di lingkungan rumah merupakan hal penting bagi proses
perkembangan anak. Proses ini semestinya tidak terhambat oleh masalah finansial.
Yang penting, bagaimana orangtua membuat kondisi rumah sedemikian rupa agar
mampu menghasilkan stimulus positif sebanyak dan sevariatif mungkin. Sesuai
dengan nalurinya, anak senantiasa ingin mengetahui segala hal dan mencoba
sesuatu yang baru. Pemberian stimulus akan memengaruhi perubahan perilaku anak.
Stimulus yang diberikan orangtua akan terbingkai dalam pola pikir, pola tindak,
dan pola ucap anak. Jika orangtua menginginkan anaknya santun berbahasa, maka
berikan stimulus yang positif. Setiap aktivitas yang ada dan terjadi di
lingkungan rumah merupakan rangkaian dari proses pemerolehan yang sifatnya
berkala dan berkesinambungan. Dalam hal ini orangtua berperan sebagai motor
penggerak yang memegang kendali pertama dan utama dalam perkembangan bahasa anak
melalui (salah satunya) pola asuh yang mendidik
Ditulis
oleh Popi Fithriani
one the wans