SEJARAH OTENTIKASI AL-QURAN;
TINJAUAN KESARJANAAN MUSLIM DAN ORIENTALIS
by: Fahmi Salim
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Alquran dan Kami pulalah yang akan memeliharanya”(Q.s.
15:9)
Awwalan
Alquran
memperkenalkan dirinya dengan beberapa ciri dan sifat. Salah satu diantaranya
adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT. Dan
ia adalah kitab yang selalu dipelihara, sebagaimana tersurah dalam ayat Alquran
sebagaimana yang dikutip di atas. Demikianlah Allah menjamin keotentikan
Alquran, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya
serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum beriman. Dengan jaminan ayat
di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai
Alquran tidak berbeda sedikitpun dari apa yang pernah dibaca oleh Nabi saw. dan
yang didengar serta dibaca sahabat Nabi saw. Akan tetapi adakah bukti lain yang
dapat membuktikan keotentikan Alquran selain kepercayaan yang diyakni setiap
muslim itu? Sebagai muslim kita dengan tegas mengatakan ya, dengan didasari
dengan bukti-bukti kesejarahan yang mengantarkan kita pada kesimpulan tersebut.
Lagi pula banyak kalangan yang sepakat bahwa Alquran merupakan satu-satunya
kitab yang paling otentik yang pernah dikenal dalam sejarah kemanusiaan.
Sementara kitab-kitab suci agama lain diriwayatkan beberapa abad setelah diturunkan,
Alquran ditangani dan dipelihara secara serius semenjak wahyu tersebut
diturunkan pada masa Rasulullah saw. hidup.
I. Bukti-bukti otentisitas
I.a. Dari Alquran
Sebelum
kita mengamati lebih mendalam bukti-bukti sejarah yang mendukung keotentikan
Alquran, ada baiknya kita mencermati pandangan seorang ulama Syi’ah
kontemporer, Muhammad Husain al-Thabathabâ`i, yang mengatakan “Sejarah Alquran
demikian jelas dan terbuka semenjak turunnya sampai saat ini. Ia dibaca oleh
kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Alquran
tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab suci tersebut
mengenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah dan membuktikan hal tersebut
dengan menantang siapa saja untuk menyusun seperti keadaannya. Ini sudah cukup
menjadi bukti walaupun tanpa bukti-bukti kesejarahan. Salah satu bukti Alquran
yang ada ditangan kita adalah bahwa Alquran yang diturunkan kepada Nabi tanpa
pergantian atau perubahan adalah berkaitan dengan sifat dan ciri yang diperkenalkannya
menyangkut dirinya yang tetap dapat ditemui sebagaimana keadaannya dahulu.” 1
Sebelumnya
Hârits al-Muhâsibî (w.234h) telah menyatakan hal yang serupa dalam bukunya Fahm
al-Sunan ketika menjawab pertanyaan mengapa kaum muslimin menaruh kepercayaan
kepada catatan dan hafalan para penulis wahyu. Di antaranya menurut
al-Muhâsibi, karena mereka telah meresapi serta mampu membedakan kosakata yang
memiliki nuansa i‘jaz dengan yang tidak. Hal itu tidak mustahil, karena mereka
lah yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengarkan bacaannya langsung dari
mulut Nabi selama sekitar duapuluh tahun. Artinya, salah satu dari beberapa
prinsip metode kritik ilmiah dalam menilai palsu atau tidaknya sebuah teks
adalah “Bahasa Teks” berikut sifat dan cirinya. Atau dengan kata lain,
unifikasi sastra yang menghubungkan bagian-bagian teks yang memiliki karakter
umum meskipun wahyu turun dalam ruang dan waktu yang berbeda.2
Di
antara bukti-bukti keotentikan Alquran adalah ditemukannya keseimbangan yang
sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya yang menunjukkan ketelitian
redaksi-redaksi Alquran. ‘Abd al-Razzâq Nawfal dalam karyanya yang monumental
al-I’jâz al-‘Adadî li al-Qur`ân al-Karîm telah membuktikan hal tersebut.
I.b. Bukti-bukti Historis
Ada
beberapa faktor pendukung bagi pembuktian otentisitas Alquran yang terlebih
dahulu mesti dikemukakan, sebagai berikut:
a.
Masyarakat Arab ketika turunnya Alquran belum mengenal budaya baca tulis,
karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.
b.
Masyarakat Arab dikenal sangat sederhana dan bersahaja, yang dengan
kesederhanaannya itu memberikan mereka waktu luang yang cukup untuk menambah
ketajaman pikiran dan hafalan mereka.
c.
Masyarakat Arab pada waktu turunnya Alquran dikenal sangat menggandrungi
kesusasteraan, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini
pada waktu-waktu tertentu.
d.
Alquran mencapai tingkat tertinggi dari aspek keindahan bahasanya dan sangat
mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin tetapi juga bagi orang-orang
kafir.
e.
Alquran demikan pula Rasul (hadis) saw., menganjurkan kaum muslimin untuk
memperbanyak bacaan dan mempelajari Alquran. Anjuran tersebut mendapat sambutan
yang hangat.
f.
Ayat-ayat Alquran turun berdialog dengan mereka, mengomentari
peristiwa-peristiwa yang mereka alami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Disamping itu Alquran turun sedikit demi sedikit sehingga memudahkan
pencernaan makna dan proses penghafalannya.
g.
Alquran juga memuat petunjuk untuk bersikap teliti dan hati-hati dalam menerima
dan menyampaikan berita. Terlebih lagi apabila yang disampaikan itu berupa
firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Faktor-faktor
diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya Alquran. Itulah sebabnya
banyak riwayat yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan para sahabat yang
menghafalkan Alquran. Bahkan dalam peperangan Yamâmah yang terjadi setelah
wafatnya Rasul telah gugur tidak kurang dari tujuh puluh sahabat penghafal
Alquran. Walaupun Nabi dan sahabat menghafal Alquran, namun guna menjamin
terpeliharanya wahyu dan keotentikannya beliau tidak hanya mengandalkan
hafalan, melainkan juga tulisan.
II.
Pengumpulan dan Penulisan Naskah Alquran
Pembahasan
tentang kompilasi Alquran merupakan salah satu pokok dalam menjelaskan upaya
pelestarian dan pemeliharaan Alquran, serta pengidentifikasian otoritasnya yang
menjadi ajang perbedaan metode antara sarjana-sarjana muslim dan peminat
studi-studi keislaman (Orientalis). Dengan dalih kebebasan riset dan
orisinalitas metode kritik sejarah, mereka giat melakukan kajian terhadap teks
Alquran yang sering kali menjerumuskan kita kepada pemahaman yang keliru
terhadap upaya kompilasi Alquran pada masa Khulafaurrasyidin. Di antara
kekeliruan tersebut adalah upaya mereka untuk menginterpretasikan sejarah Islam
dengan “Tafsiran Ekonomi” yang menafikan setiap peristiwa yang terjadi dalam
sejarah Islam, termasuk di dalamnya adalah proses kompilasi Alquran, didorong
oleh tujuan dan target yang mulia semata-mata lillahi ta’ala. Di samping itu
tidak jarang dalam mengkaji sejarah Alquran mereka mengambil
informasi-informasi sejarah yang lemah sebagai sandaran untuk mendukung
prakonsepsi yang ada di kepala mereka.
Beberapa
kesalahan fatal prinsip yang mereka pakai adalah menyamakan kedudukan Alquran
dengan kitab-kitab suci terlebih, bahkan karya-karya sastra humanis, sebagai
teks kuno yang terimbas perubahan zaman, serta asumsi yang mereka kembangkan
bahwa kajian historis atas teks-teks kitab suci mengantarkan kita untuk bisa
memilah teks yang asli dengan yang palsu. Hal itu sering diadvokasikan oleh
seorang sarjana Barat, Arthur Jeffery ketika menyunting dan menerbitkan kitab
al-Mashâhif susunan Ibnu Abî Dâwud al-Sijistânî. Ide kritik historis dan
penerapannya dalam mengkaji teks-teks kuno pertama kali diintrodusir oleh
seorang ahli dari Jerman bernama Wolf 3 yang tertarik mengkaji kitab “Ellyas”
karya Homerus yang mengantarkannya mampu mengungkap fase-fase yang dilalui buku
tersebut. Sehingga mendorong beberapa sarjana Eropa untuk menerapkan metode
tersebut untuk mengkaji teks-teks Alquran.
Sekali
lagi perlu ditegaskan bahwa sejarah umat manusia, sebagaimana yang telah
disinggung, tidak mengenal kitab paling otentik selain Alquran, sehingga metode
kritik sejarah yang diusung para Orientalis tidak proporsional. Karena
bukti-bukti historis menginformasikan dengan akurat perhatian serius yang
dilakukan kaum muslim dalam upaya melestarikan dan memelihara Alquran sejak
diturunkannya. Terlebih lagi, jika kita menilai bahwa (1) kurun waktu selama
kurang lebih dua puluh dua tahun yang dipergunakan Nabi saw. untuk menerangkan
hukum-hukum setiap ayat Alquran dan ayat yang nasikh-mansukh, serta (2) prinsip
otoritas mutlak Tawqîfî yang dipegang kaum muslim dalam segala hal yang
berkaitan dengan Alquran, cukup untuk menolak diterapkannya metode kritik
sejarah dalam mengkaji naskah Alquran. Sehingga tidaklah berlebihan bagi
sarjana muslim, apabila kajian terhadap tiga fase pengumpulan Alquran yang
terkenal itu tidak dimaksudkan sebagai langkah-langkah pengakurasian teks,
melainkan ‘lebih merupakan cerminan perkembangan kehidupan negara Islam’.4
Maksudnya, motivasi penggerak upaya kompilasi Alquran dalam tiga periode
tersebut sangat berkaitan erat dengan gerak maju ekspansi negara Islam keluar
kawasan Arab.
Frasa
kompilasi Alquran yang penulis pakai dalam kaitan pembahasan ini yang
berasosiasi tulisan, kumpulan naskah atau manuskrip adalah salah satu
pengertian kata jama’ dalam bahasa Arab. Pengertiannya yang lain adalah
menghafal, sehingga apabila kita mendengar kalimat Jâm’ al-Qur`ân, kita bisa
memaknainya dengan penghafal atau penulis Alquran. Pembicaraan tentang Jam’
al-Qur`ân yang berarti hafalan, menuntun kita untuk mengetahui bahwa proses
menghafal Alquran dengan metode talaqqî dan periwayatan yang bersambung sampai
Rasulullah, merupakan basis utama dalam pembuktian sah atau tidaknya bacaan
Alquran dalam tradisi kaum muslim. Sehingga tulisan hanya berfungsi sebagai
pendukung hafalan. Itu sebabnya mengapa tulisan ayat yang terdapat dalam
naskah-naskah tua pada masa Nabi saw. berupa kerangka konsonantal.
Ibnu
al-Jazarî seorang pakar qiraat terkemuka menegaskan “Pengandalan atas hafalan
di luar kepala dalam proses transmisi Alquran dan bukan dengan tulisan dalam
bentuk naskah adalah anugerah utama yang diberikan oleh Allah kepada umat
Islam”. Hal itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim ra.:
“Sesungguhnya
Nabi Muhammad saw. bersabda: sesungguhnya Tuhanku berfirman, bangunlah dan
berilah peringatan kepada kaum Quraisy. Aku pun berkata: Tuhan manapun yang aku
dakwahkan kepada mereka untuk menyembahNya, selalu saja mereka memukulku
(mendustaiku). Maka Allah pun berkata, sesungguhnya Aku memberikan kamu suatu
cobaan, dan memberimu sebuah ‘kitab’ yang tidak hanyut oleh siraman air, dapat
kamu baca disaat kamu tidur dan terjaga”
Hadis
di atas menyiratkan bahwa Alquran dibaca dari lubuk hati (hafalan) dalam setiap
kondisi sehingga pembacanya tidak perlu lagi melihat lembaran yang ditulis
dengan tinta pena yang mudah sirna apabila tercuci air.
Adapun
Jam’ al-Qur`ân yang berarti penulisan dan pengumpulan Alquran dalam mushaf
resmi telah mengambil tiga bentuk dalam tiga periode awal Islam, sebagaimana
yang akan kita uraikan sebagai berikut.
II.a.
Kompilasi Alquran pada Masa Rasulullah saw.
Telah
dimaklumi bahwa Nabi saw. menugaskan para sahabat yang dikenal pandai menulis
untuk mencatat wahyu. Di antaranya: Abû Bakr ra., ‘Umar ibn al-Khattâb ra.,
‘Alî ibn Abî Thâlib kw., ‘Utsmân ibn ‘Affân ra., Mu’âwiyah ibn Abî Sufyân ra.,
Zayd ibn Tsâbit ra., Ubay ibn Ka’b ra., Khâlid ibn al-Walîd ra., Tsâbit ibn
Qays ra. Mereka adalah para sahabat yang masyhur sebagai penulis wahyu. Imam
al-Hâkim menceritakan dari Zayd ibn Tsâbit bahwa ia berkata: “Kami mencatat
Alquran dihadapan Rasul saw. diatas lembaran kulit atau kertas”. Bahkan Regis
Blachere dalam Introduction au Coran menghitung tak kurang dari empat puluh
sahabat penulis wahyu melalui perbandingan hitungan Frederich Schwally dan Paul
Cassanova berdasarkan laporan yang dikemukakan Ibnu Sa’d, al-Thabarî,
al-Nawawî, Ibnu Hisyâm dan lain-lain.
Kompilasi
Alquran pada masa Rasul dimulai sejak turunnya wahyu5 dan berakhir sampai
wafatnya Nabi saw. Alquran pada waktu itu masih berupa kepingan naskah yang
berserakan dan masih belum terkumpul dalam satu mushaf, karena Nabi saw. masih
menunggu wahyu yang kemungkinan berisi ayat yang menghapus ayat yang turun
terdahulu. Al-Zarkasyî berkata, “Alasan Alquran tidak ditulis dalam mushaf pada
masa Nabi saw. agar tidak terjadi perubahan pada setiap saat. Oleh sebab itu
penulisannya (dalam mushaf) terlambat sampai tuntas turunnya wahyu dengan
kewafatan beliau”6. Adapun informasi yang mengatakan bahwa Zayd pernah berkata
bahwa Alquran belum dikumpulkan pada suatu apapun ketika Rasulullah wafat,
tidak berarti Alquran tidak pernah tercatat pada masa Nabi. Akan tetapi penafian
tersebut tertuju kepada sesuatu yang bagian-bagiannya belum tersusun rapi
seperti kompilasi Abû Bakr dan ‘Utsmân ra. Lagi pula sanad riwayat tersebut
lemah. Karena Ibrâhîm ibn Basyar, salah seorang perawi didlaifkan
oleh para kritikus hadis. Sedangkan ‘Ubaid, perawi lain bersifat majhûl (biografinya tidak dikenal). Spesifikasi lain dari kompilasi Alquran pada masa Rasulullah adalah cakupannya terhadap Ahruf Sab’ah dan ayat beserta surahnya terpisah-pisah dalam kepingan pelepah kurma, kulit, tulang unta, lempengan batu dan lain-lain.
oleh para kritikus hadis. Sedangkan ‘Ubaid, perawi lain bersifat majhûl (biografinya tidak dikenal). Spesifikasi lain dari kompilasi Alquran pada masa Rasulullah adalah cakupannya terhadap Ahruf Sab’ah dan ayat beserta surahnya terpisah-pisah dalam kepingan pelepah kurma, kulit, tulang unta, lempengan batu dan lain-lain.
II.b.
Kompilasi Alquran Masa Abû Bakr ra.
Berita
wafatnya Nabi saw. menimbulkan goncangan hebat dalam komunitas muslim yang baru
tumbuh. Belum lagi kaum muslim keluar dari hiruk-pikuk proses pengangkatan
suksesor dan penguburan jenazah Nabi, mereka dikejutkan dengan berita
pembangkangan di pelosok kawasan Arab dan gerakan apostasi (riddah) yang
terjadi di beberapa daerah kekuasaan Islam. Semua itu menghalangi kaum muslim
untuk memikirkan masa depan Alquran. Karena selain para sahabat sibuk dengan
perang yang berkecamuk, mereka tidak merasakan terjadinya ‘sesuatu’ akan masa
depan Alquran. Menurut mereka toh Alquran telah ditulis dan dipelihara di rumah
istri-istri Nabi dan lagi pula para penghafal Alquran masih banyak. Akan tetapi
terjadi sesuatu yang tak terduga sama sekali. Dalam perang Yamâmah, telah gugur
sekitar seribu orang syahid, termasuk di antaranya sekitar empat ratus lima
puluh sahabat menurut hitungan al-Thabarî yang membuat ‘Umar risau terhadap
Alquran. Imam al-Bukhâri menginformasikan dengan sanadnya dari Zayd, ibn Tsâbit
berkata:
“Abû
Bakr mengutusku dan mengabarkan bahwasannya ‘Umar datang kepadaku dan berkata,
perang Yamamah telah banyak menewaskan para penghafal Alquran dan aku khawatir
peperangan lain juga turut menewaskan para qari` di daerah-daerah, sehingga
banyak bagian dari Alquran yang akan hilang. Oleh karena itu saya berpendapat
sebaiknya anda memerintahkan untuk mengumpulkan Alquran”. Saya balik bertanya
kepada ‘Umar; “Bagaimana mungkin saya mengerjakan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah”. ‘Umar menjawab, “demi Allah, itu adalah ide yang
baik dan ia terus berusaha meyakinkan saya sehingga Allah melapangkan jalan
untuk menerima ide itu”. Zayd berkata: Abû Bakr berkata:”Anda adalah anak muda
yang cerdas dan kami mempercayaimu, lagi pula dahulu kamu turut mencatat wahyu
pada masa Rasul. Maka cari dan kumpulkanlah Alquran”. Zayd berkomentar, “demi
Allah sekiranya mereka menyuruhku untuk memindahkan sebuah gunung, tidaklah
lebih berat dari pada perintah mengumpulkan Alquran”. Aku (Zayd) bertanya,
“Bagaimana mungkin kalian mengerjakan sesuatu yang tidak penah dilakukan
Rasul”. Beliau menjawab, “Demi Allah, ini adalah ide baik, dan Abû Bakr terus
meyakinkan saya sehingga Allah melapangkan dada saya seperti yang dialami Abû
Bakr dan ‘Umar. Maka aku kumpulkan Alquran dari catatan-catatan lembaran lontar
dan lempengan batu serta hafalan para sahabat, sampai akhirnya saya mendapatkan
akhir surah al-Tawbah dari Abî Khuzaimah yang tidak kuperoleh dari selainnya
yaitu ayat Laqad Jâ`akum Rasûlun min Anfusikum… maka shuhuf-shuhuf itu disimpan
oleh Abû Bakr sampai beliau wafat, kemudian oleh ‘Umar semasa hidupnya kemudian
oleh Hafshah”.
Dalam
riwayat lain terdapat keraguan Zayd dari Abî Khuzaymah7 atau Khuzaymah.8 Syekh
Muhammad Abû Syahbah menegaskan bahwa riwayat pertama lah yang benar.9
Seandainya
‘Umar tidak berhasil meyakinkan Abû Bakr dalam soal pengumpulan Alquran, besar
kemungkinan, menurut ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, mereka berdua akan melakukan jajak
pendapat kepada para sahabat mengenai masalah kompilasi Alquran. Karena
keputusan bersejarah itu tidak dapat diambil oleh dua orang sahabat saja
mengingat Alquran merupakan Undang Undang Dasar Negara Islam.
Khalifah
Abû Bakr menyusun juklak bagi komisi yang diketuai Zayd yang menyaratkan
penerimaan catatan Alquran sesuai dengan hafalan sahabat lain dan catatan
tersebut ditulis dihadapan dan atas perintah Rasulullah saw., di samping harus
dikuatkan oleh dua orang saksi. Juklak itu dilaksanakan dengan teliti
sampai-sampai konon ‘Umar membawa ayat perajaman, akan tetapi Zayd menolak
untuk menulisnya, karena ‘Umar tidak mendatangkan dua orang saksi. Demikian
pula perbedaan antara ‘Umar dan Zayd yang didukung oleh Ubay ibn Ka’b tentang
ada tidaknya huruf (و) setelah kata (الأنصار) dalam
Q.s. 9:100 serta upaya Zayd meyakinkan ‘Umar bahwa ada tambahan (و) yang
kemudian didukung argumentasi Ubay bahwa hal yang sama juga terdapat di tiga
tempat dalam Alquran, membuktikan bahwa juklak itu dilaksanakan dengan amat
teliti.
Pengecualian
akhir surah al-Tawbah dari kaidah tersebut, disebabkan catatannya hanya
ditemukan pada Abî Khuzaimah al-Anshârî berdasarkan kemutawatiran hafalannya,
sehingga menempati dua orang saksi bahwa ayat tersebut ditulis di hadapan
Rasulullah.10 Hal ini diperkuat penegasan al-Zarkasyî dalam al-Burhân: “Adapun
perkataan Zayd: “Saya tidak menemukannya kecuali pada Abî Khuzaimah”, bukan
berarti penetapan Alquran dengan khabar âhâd karena Zayd dan sahabat lain
menghafal ayat tersebut dan pencariannya kepada sahabat bertujuan untuk
menampakkannya bukan sebagai pengetahuan baru.”11
Para
ulama mencatat beberapa spesifikasi yang terdapat dalam kompilasi Abû Bakr di
antaranya:
a.
Naskah tersebut hanya memuat ayat-ayat yang tidak dinaskh bacaannya dan membuang
unsur-unsur asing selain Alquran.
b.
Pengumpulan yang dilakukan oleh Abû Bakr tidak menerima kecuali yang disepakati
sebagai Alquran melalui jalur mutawatir.
c.
Kompilasi tersebut masih ditulis dengan Ahruf Sab’ah.
d.
Ayat-ayatnya tersusun rapi seperti yang ada sekarang, sedangkan surah-surahnya
“berdiri sendiri” (dalam shuhuf). Kemudian shuhuf-shuhuf tersebut dikumpulkan
dan diikat menjadi satu.
Perlu
diingat bahwa kompilasi Alquran dengan tingkat ketelitiannya yang tinggi
beserta cakupannya terhadap spesifikasi di atas, hanya shuhuf Abû Bakr sajalah
yang memenuhi kriteria tersebut. Karena mushaf-mushaf yang ditulis sebagian
sahabat, dikabarkan mencantumkan ayat yang telah dihapus dan yang melalui
kategori âhâd. Sebagian yang lain mencantumkan sisipan penafsiran kosakata ayat
tertentu dan beberapa doa yang ma`tsur. Oleh sebab itu naskah Alquran yang
dimiliki Abû Bakr merupakan naskah otentik dan memiliki legitimasi yang kuat.12
II.b.1.
Pandangan Orientalis
Pada
umumnya pandangan mereka seputar pengumpulan Abû Bakr terkesan “minor”. R.
Blachere misalnya mempertanyakan apakah pengumpulan Abû Bakr itu solusi bagi
kecemasan ‘Umar? Sebenarnya, lanjut Blachere, masyarakat membutuhkan kumpulan
wahyu tertulis yang diakui otoritasnya. Tetapi apakah itu yang dikehendaki
shuhuf Abû Bakr? Tidak, karena shuhuf-shuhuf itu milik pribadi Abû Bakr dan
‘Umar bukan dalam kapasitas mereka sebagai kepala negara yang secara umum
menunjukkan bahwa khalifah pertama dan kawannya itu merasa inferior atau gengsi
alangkah baiknya kalau seorang kepala negara tidak lah lebih rendah posisinya
dari beberapa sahabat yang beruntung memiliki mushaf sendiri. Oleh karena itu
tidak ada dalam benak Abû Bakr dan ‘Umar membuat mushaf acuan bagi kaum
muslimin.
Kritikan
lain juga datang dari Richard Bell mengenai kumpulan resmi Alquran yang
menurutnya “mungkin kritikan paling berat” karena bentuk formal demikian dapat
diduga memiliki keabsahan formal yang dinisbatkan kepadanya, tetapi bukti untuk
hal ini tidak bisa kita temukan. Kumpulan-kumpulan Alquran yang lain masih
tetap dipandang absah di berbagai daerah. Pertikaian yang mengarah kepada
resensi Alquran di masa ‘Utsmân mungkin tidak akan timbul jika waktu itu sudah
ada naskah resmi di tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan. Demikian pula,
gambaran tentang diri ‘Umar yang menegaskan bahwa ayat perajaman berasal dari
Alquran, terasa amat sulit untuk diselaraskan masalah kepemilikannya atas
kumpulan resmi Alquran yang berasal dari masa Abû Bakr.
Mari
kita menjawab tuduhan-tuduhan miring tersebut dengan hati dan kepala dingin.
1.
Analisis kaum Orientalis terhadap upaya pengumpulan naskah Alquran sangat
beraroma penafsiran historis yang tidak pada tempatnya dan memakai sandaran
riwayat-riwayat yang lemah untuk mendukung tesis yang mereka kemukakan. Analisis
tersebut sangat rentan terhadap kritikan. Banyak sekali pertanyaan historis
sebagai umpan balik yang dapat diajukan berkaitan dengan asumsi yang mereka
kembangkan, sehingga penafsiran yang bertumpu pada kritik historis menjadi
sia-sia belaka. Seandainya kumpulan Abû Bakr itu demi kepentingan pribadi,
untuk apa beliau bersikeras membentuk komisi pengumpulan dan menyuruh orang
untuk menyerahkan bahan-bahan naskah Alquran untuk diteliti komisi Zayd? Jika
shuhuf Abû Bakr dianggap kepemilikan pribadi mengapa beliau tidak mengamanatkan
ahli warisnya untuk menyimpan shuhuf tersebut dan bahkan mewariskannya kepada
‘Umar yang berarti kepemilikan itu resmi milik negara?. Sepintas kita dapat
menilai tindakan ‘Umar yang menyerahkannya shuhuf itu kepada Hafshah, putri
‘Umar dan janda Nabi saw., sepeninggalnya dan bukan kepada ‘Utsmân, yang
berarti sifatnya khusus. Kecurigaan tersebut tidak berdasar, karena berbeda
dengan proses pengangkatan ‘Umar sebagai khalifah yang melalui cara ta’yîn
(aklamasi), maka proses pengangkatan ‘Utsmân dilakukan melalui mekanisme
musyawarah dalam sebuah tim suksesi yang dibentuk oleh ‘Umar sebelum ia wafat.
Sedangkan tuduhan Abû Bakr berkoalisi dengan ‘Umar yang hanya memikirkan ego
pribadi serta tidak memperhatikan maslahat yang lebih besar. Secara logika, apa
sih harga sebuah naskah Alquran bagi seorang yang telah menghafalkannya pada
masa Rasulullah? Dan apa pula harga naskah tertulis pada saat orang sangat
mengandalkan dan mempercayai hafalan Alquran di luar kepala? Kalau bukan demi
kemaslahatan umat seluruhnya.
2.
Kita tidak menafikan adanya usaha-usaha individual untuk mencatat Alquran yang
mendahului atau bahkan bersamaan dengan pengumpulan Abû Bakr, tetapi perlu
dicatat bahwa tujuan mereka bukan untuk pengumpulan resmi tetapi sebatas
sebagai pendukung hafalan yang mereka miliki. Yang terjadi adalah ketika para
sahabat mengetahui tim yang dibentuk oleh Abû Bakr mereka berbondong-bondong
menyerahkan naskah yang ada pada mereka untuk diteliti Zayd dan kawan-kawannya.
Akan tetapi target kaum Orientalis hendak mengesankan bahwa pengumpulan Abû
Bakr tersebut tidak serius karena sifatnya yang pribadi sehingga menghilangkan
spesifikasi tawâtur dalam usaha pengumpulan Abû Bakr.
3.
Klaim keabsahan mushaf-mushaf individual di berbagai daerah kekuasaan Islam,
juga sangat lemah jika dihadapkan kepada fakta-fakta sejarah dan riwayat yang
otentik. Mushaf awal yang resmi berbeda dengan mushaf-mushaf individual dari
aspek kesesuaiannya—yang mutlak—dengan teks wahyu yang otentik sesuai murâja’ah
terakhir yang dilakukan Rasul dengan Jibril as. pada tahun kewafatannya. Karena
seperti yang pernah disinggung, mushaf-mushaf lain terkadang ditulis
berdasarkan hafalan yang tak jarang berisi beberapa tafsiran ayat atau doa-doa
ma`tsûr seperti mushaf Ibnu Mas’ûd dan mushaf Ubay. Akan tetapi, memang harus
diakui, menurut M. ‘Abd Allâh Dirâz13, meski keutamaan mushaf Abû Bakr lebih
tinggi, pelestariannya yang hanya terbatas pada figur dua khalifah pertama,
telah sedikit banyak mengesankan sifat pribadi dan belum menjadi dokumen resmi
bagi khalayak umum sampai saatnya pembebasan Armenia pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Utsmân. Oleh karena itu, menilik sejarah penulisan dan pengumpulan
Alquran lebih erat hubungannya dengan memahami tantangan-tantangan sosio-politik
yang dihadapi negara Islam berikut cara merespon tantangan itu.14
4.
Klaim kontradiksi antara keyakinan sementara ‘Umar bahwa ayat perajaman bagian
dari Alquran dengan kepemilikannya atas mushaf resmi yang berasal dari Abû
Bakr, tidak memperhatikan kaidah ilmiah yang diterapkan sahabat dalam usaha
kompilasi Alquran. Melihat ‘Umar tidak berhasil menghadirkan dua saksi, Zayd
menolak ntuk mencantumkannya. Sehingga para ulama 15 menganggapnya sebagai
riwayat âhâd yang tidak bisa dibuktikan sebagai Alquran. Paling tidak apa yang
diyakini ‘Umar itu merupakan sunah Nabi. Dari sana para pakar mengartikan
pernyataan ‘Umar:
وكان فيما انزل عليه
tidak
bertentangan dengan mafhum sunah. Karena sebagaimana diyakini mayoritas ulama
dan umat Islam bahwa Jibril as. turun membawa wahyu berupa Sunah di samping
Alquran. Sehingga statemen ‘Umar: والرجم
في كتاب الله حق harus dipahami dalam kontek bahwa perajaman adalah bagian tak
terpisahkan dalam syariat Allah, hukum dan ketentuan-Nya, atau bisa jadi
statemen beliau merujuk kepada ayat al-Nisa`:15, yang mana Sunah telah
menjelaskan rinciannya yaitu mencambuk ghair muhshan dan merajam muhshan. Di
samping itu terdapat bukti lain bahwa ‘Umar tidak meyakini ayat al-Syaikhu wa
al-Syaikhatu sebagai Alquran. Ibnu Hamdawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari
Hasan al-Bashrî dari ‘Umar ia berkata, “Saya berniat mengundang beberapa
sahabat muhajirin dan anshor yang dikenal nama dan nasabnya untuk bersedia
mencatat kesaksian mereka dipinggir mushaf: “Inilah kesaksian ‘Umar bersama
fulan dan fulan bahwa Rasul pernah merajam pezina yang telah menikah. Karena
saya cemas orang-orang Islam nanti kan mengingkari hukum rajam karena mereka
tidak menemukan ketentuannya dalam Kitabullah”. Dalam riwayat lain ‘Umar
berkata, “Kalau tidak karena gunjingan orang bahwa saya menambah-nambahi
Alquran niscaya akan saya tulis (ayat rajam) di dalam mushaf”. Lagi pula dalam
pengamatan para ahli, redaksi al-Syaikhu wa al-Syaikhatu tidak teliti
(sebagaimana kebiasaan redaksi Alquran) sehingga mengaburkan keistimewaan
pemilihan redaksi Alquran yang mu’jiz, karena redaksi ayat itu berarti
“Kakek-kakek dan nenek-nenek yang berzina” yang mengesankan bahwa hukum rajam
diperuntukkan bagi orang tua serta tidak menekankan muhsan tidaknya pelaku zina
tersebut. Sehingga kontan redaksi tersebut mengundang kritikan Zayd bin Tsâbit:
“Bukankah dua pasang muda yang telah menikah juga dirajam?” 16. Dengan demikian
gugurlah argumen-argumen yang dikemukakan kalangan Orientalis yang dengan
sengaja hendak menebarkan benih-benih keraguan seputar pengumpulan Abû Bakr.
—– BERSAMBUNG di bagian kedua
———————————
1 Dikutip dalam M. Quraish
Shihab, “Membumikan” Alquran, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. V, hlm.22
2 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, Dirâsât fî al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1969), Cet. I, hlm.90
3 Ibid., hlm. 86
4 Ibid., hlm. 87
5 Kita tentu ingat bahwa proses masuk Islamnya ‘Umar didahului oleh bacaan Alquran: Surah Thâhâ dari lembaran yang dimiliki saudarinya, Fâthimah. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa-masa kritis, minat para sahabat mencatat Alquran tidak surut.
6 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), Vol. I, hlm. 262
7 Beliau bernama lengkap Abû Khuzaimah ibn Aws ibn Yazîd ibn Atsram dari klan Banî Najjâr., wafat pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmân ra
8 Beliau bernama lengkap Khuzaimah ibn Tsâbit ibn al-Fakih ibn Tsa’labah, dijuluki “Dzû Syahâdatain” oleh Rasulullah. Gugur dalam peperangan Shiffîn di pihak Khalifah ‘Alî Ibnu Abî Thâlib
9 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 244
10 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Cet. XVIII, hlm. 76
11 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, op.cit., hlm. 296
12 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 246
13 Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II, hlm. 38
14 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, op.cit., hlm. 93
15 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 271
16 Ibid., hlm. 273
2 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, Dirâsât fî al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1969), Cet. I, hlm.90
3 Ibid., hlm. 86
4 Ibid., hlm. 87
5 Kita tentu ingat bahwa proses masuk Islamnya ‘Umar didahului oleh bacaan Alquran: Surah Thâhâ dari lembaran yang dimiliki saudarinya, Fâthimah. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa-masa kritis, minat para sahabat mencatat Alquran tidak surut.
6 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), Vol. I, hlm. 262
7 Beliau bernama lengkap Abû Khuzaimah ibn Aws ibn Yazîd ibn Atsram dari klan Banî Najjâr., wafat pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmân ra
8 Beliau bernama lengkap Khuzaimah ibn Tsâbit ibn al-Fakih ibn Tsa’labah, dijuluki “Dzû Syahâdatain” oleh Rasulullah. Gugur dalam peperangan Shiffîn di pihak Khalifah ‘Alî Ibnu Abî Thâlib
9 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 244
10 Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Cet. XVIII, hlm. 76
11 Badr al-Dîn al-Zarkasyî, op.cit., hlm. 296
12 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 246
13 Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II, hlm. 38
14 Al-Sayyid Muhammad Khalîl, op.cit., hlm. 93
15 Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, op.cit., hlm. 271
16 Ibid., hlm. 273