TADWINUL
HADITS ANTARA SUNNI DAN SYIAH
(Bagian
1)
Pengetahuan
Orang Arab Tentang Tulis Menulis Sebelum Islam
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Arab
telah mengenal tulisan sebelum Islam. Pada waktu itu mereka menuliskan sejumlah
peristiwa penting yang mereka alami pada batu. Dan tidak diragukan lagi bahwa
daerah timur jazirah Arab dikenal dengan tulisan dan bacaannya, serta Mekah
sebagai pusat perdagangan yang istimewa telah melahirkan para penulis dan
pembaca yang ulung sebelum diutusnya Rasulullah, seperti Abu Sufyan bin Umayah,
Bisyar bin Abdul malik, Abu Qais dan Amer bin Jurarah yang dikenal dengan
sebutan katib. Disamping itu orang
-orang Arab biasa memberikan gelar Al-Kamil bagi setiap orang yang mahir
menulis, pandai memanah, dan jago renang. Walaupun mayoritas ahli syair pada
waktu itu merasa lebih bangga dengan kemampuan hapalan dan kecerdasan mereka.
Bahkan sebagian orang ada yang menyembunyikan pengetahuan tentang tulis menulis
karena hawatir diketahui oleh orang lain.
Adapun kata Ummi
dalam Alquran yang ditujukan bagi orang-orang Arab pada umumnya tidak berarti
bahwa semua orang Arab pada waktu itu tidak mampu membaca dan menulis, tetapi
hal itu untuk menunjukan bahwa orang Arab yang mampu lebih sedikit jumlahnya
bila dibandingkan dengan orang Arab yang tidak mampu.
Tadwinul hadits Pada Masa
Rasulullah
Kalau
melihat kenyataan sejarah pada masa Rasulullah, maka hadis belum tercatat
secara resmi seperti tercatatnya Al-Quran. Oleh karena itu perlu diteliti
sebab-sebab tidak tercatatnya hadis secara resmi pada masa itu. Dan kita
berupaya untuk mendapatkannya di antara hadis dan atsar yang sahih dari sahabat
dan tabiin.
قَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ لاَتَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ القُرْآنِ
فَلْيَمْسَحْهُ
“Abu Said berkata, :
Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Kalian jangan menulis apapun dari aku, dan
barang siapa menulis sesuatu dari aku selain Al-Quran maka hapuslah.” (H.R.
Muslim)
قَالَ
أَبُوْ سَعِيْدٍ : اِسْتَأذنَّا النَّبِيَّ e فِي الكِتَابَةِ فَلَمْ يَأْذَنْ لَنَا
“Abu Said berkata, : Kami
minta ijin kepada Nabi tentang tulis menulis, tetapi beliau tidak mengijinkan
kami.”(Al-Muhaddisul Fasil, hal. 6)
رُوِيَ
عَنْ رَافِعِ بْنِ خُدَيْجٍ أَنَّهُ قَالَ : قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّا نَسْمَعُ
مِنْكَ أَشْيَاءَ أَ فَنَكْتُبُهَا ؟ قَالَ أُكْتُبُوا وَلاَحَرَجَ
“Diriwatkan dari Rafi
bin Khadij, sesungguhnya ia berkata, “Kami bertanya, wahai Rasul sesungguhnya
kami mendengar segala sesuatu dari engkau, bolehkah kami menulisnya? beliau
menjawab, 'Tulislah oleh kalian dan hal itu tidak apa-apa.” (As-Sunnah Qobla
Tadwin, hal. 304)
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa ketika futuh Makah Rasulullah saw. berkhutbah kepada
orang-orang, lalu berdiri seseorang dari penduduk Yaman yang disebut Abu Syah,
ia mengatakan, “Wahai Rasul tuliskanlah untukku beliau bersabda, ‘Tuliskanlah
untuknya.”(H.R. Ahmad)
Dari keterangan-keterangan di atas kami berkesimpulan :
1.
a. Persoalan larangan penulisan hadis terletak pada soal kekhawatiran
tercampurnya antara Alquran dan hadis
b.
Setelah jumlah umat Islam semakin banyak dan mereka mampu membedakan antara
Al-Quran dan hadis maka penulisan diperbolehkan
2.
Larangan menulis hadis ditujukan bagi orang-orang tertentu yang kuat hapalan
atau ingatan, maka bagi yang takut atau hawatir lupa diperholehkan menulis
Lembaran-lembaran hadis
Yang Tertulis Pada Masa Nabi
Pada masa Rasul
saw. kita mengetahui adanya catatan hadis, baik yang berupa mushaf besar yang
menyerupai musannaf al-hadis maupun berupa catatan yang terkumpul di tangan
para sahabat, seperti :
1.
Ash-Sahifah yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Dia sendiri mengatakan,
“Aku hafal dari Nabi seribu misal,”. Abdullah sendiri merasa berbahagia dengan
sahifah itu. Dia berkata,”tiada yang lebih menyenangkan aku di dalam hidup ini
selain ash-sahifah ash-sadiqah dan al-wahtu (sebidang tanah di Taif yang
diwaqafkan oleh ayahnya untuk diurus” -Sunan Ad-Darimi, I : 178, Usdul Ghabah, III : 233)
2. Sahifah Ali bin Abu
Thalib
Sahifah kecil yang
mencakup akal, yaitu ukuran-ukuran diyat dan mencakup pula hukum-hukum pikakul
asir (pembebasan) tawanan
3. Sahifah Sa’ad bin
Ubadah
Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Tirmidzi, dari Ibnu Sa’ad bin Ubadah: “Kami dapatkan
dari kitab Sa’ad bin Ubadah, sesungguhnya Nabi saw. memutuskan dengan sumpah
dan saksi.”
4. Yang ditulis oleh Nabi
(melalui katib)
a.
Kitab zakat dan diyat
Ditulis oleh Abu
Bakar As-Sidiq.”Bahwa Rasul telah menulis kitabus sadaqah, tetapi beliau tidak
mengeluarkannya sampai wafat.” (H.R. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi)
b.
Surat beliau untuk Amr bin Hazm (‘amil beliau di yaman).
Di dalamnya
mencakup usulul Islam, metode dakwah, tata cara ibadah, dan mencakup pula
bagian-bagian Jizyah, Zakat dan diyat. (H.R. Baihaqi)
c.
Surat beliau kepad Wail bin Hujr, untuk kaumnya di Hadramaut, di dalamnya
mencakup ushulul Islam dan yang pokok dari muharramat.
d.
Surat beliau kepada para raja dan pembesar-pembesar atau kepada perseorangan di
kalangan Arab yang berisi seruan untuk masuk Islam.
e.
Surat-surat perjanjian dan persetujuan beliau, yang ditanda tangani beliau
bersama kaum kuffar, seperti perjanjian hudaibiah, Tabuk dll.
5. Sahifah Abu Huraerah
Untuk Hammam bin Munabbih.
Hamman bin Munabbih
bertemu dengan abu Hurairah dan banyak sekali menulis sadits Rasul darinya,
kemudian ia himpun dalam satu mushaf yang dinamai ash-salihah dan kadang-kadang dinamai
pula ash-sahifah ahs-sadiqah milik Abdullah bin Amr.
Sahifah
ini memuat 138 hadis, dan Ibnu Hajar menerangkan bahwa Hammam mendengar dari
Abu Hurairah kira-kira 140 hadis dengan satu sanad. (Tahdzibut-Tahdzib XI : 69)
Semua keterangan di atas menunjukan telah terjadinya
tadwinul hadits pada masa Rasululah sebagai gambaran bahwa tulis menulis dan
kearsipan merupakan unsur yang tidak dapat diabaikan dalam memelihara kemurnian
sunah Rasul, dan sekaligus merupaka jawaban bahwa sebenarnya tadwinul hadis
terjadi pada masa Rasul walaupun tidak secara besar-besaran.
3. Perkembangan tadwinul hadis sejak masa sahabat
- Masa khulafaur rasyidin
Masa Sahabat
Setelah Rasulullah
saw. wafat, sebelum terjadinya fitnah, Sunah Rasul telah tersimpan dalam
ingatan sebagian besar sahabat. Namun belum tersebar secara luas ke berbagai
daerah, bahkan di Madinah sendiri. Keadaan ini tidak terlepas dari kebijakan
Umar bin Al Khathab yang bertumpu pada pemusatan perhatian terhadap Alquran dan
mempersedikit penyebaran hadis Rasul, guna mencegah orang untuk menambah-nambah
hadis serta menghindarkan kesalahan dalam penuturannya.
Di samping itu
kebanyakan para sahabat khawatir hadis akan menyerupai Alquran atau orang akan
menganggap sederajat dengan Alquran. Al Khatib menyatakan, “Sesungguhnya tidak
disukai penulisan hadis pada masa awal, agar yang lain tidak menyerupai Kitab
Allah, dan kaum muslimin akan tersibukkan dari Alquran dari yang lainnya.” (As
Sunnah Qabla Tadwin, 1993:315)
Meskipun demikian,
para sahabat yang tidak setuju dengan penulisan hadis pada akhirnya merubah
pandangann setelah terbukti ada beberapa perintah Nabi saw., dan hilangnya
sebab yang dikhawatirkan, terutama setelah Alquran dikumpulkan dalam bentuk
mushhaf, yang kemudian dikirim ke segenap penjuru negeri.
Perlu dikemukakan
beberapa keterangan tentang perubahan pandangan para sahabat ternama, khususnya
Umar bin Al Khatab sendiri yang pernah menyatakan ketidak setujuannya akan
penulisan hadis. Ia menyatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Jami’u Bayanil
ilmi, I : 72). Kemudian Ibnu Masud mengatakan:
مَا كُنَّا نَكْتُبُ فِى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ إِلاَّ الإِسْتِخَارَةَ وَالتَّشَهُّدَ
“Kami tidak mencatat pada
masa Rasulullah saw. selain istikharah dan tasyahhud.”
Perkataan ini
menunjukkan bahwa Ibnu Masud tidak melarang penulisan hadis. Lebih jauh dari
itu telah ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa ditangan putranya ditemukan
kitab dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) Ibnu Mas’ud (Ibid.,).
Kemudian Aisyah
berkata kepada Urwah bin Zubair, “Wahai anakku, telah sampai kepadaku bahwa
engkau menulis hadis dariku, lalu engkau pulang kemudian mencatatnya.” Ia
menjawab, “Saya mendengar sesuatu darimu, lalu saya menyampaikannya kepada
orang lain.” Ia bertanya, “Apakah ada makna yang berlainan?” Ia menjawab,
“Tidak.” Ia berkata, “Hal itu tidak apa-apa.” - As Sunnah Qablat Tadwin,
1993:318 -
Basyir bin Nahik
berkata, “Saya menemui Abu Hurairah membawa kitabku yang aku tulis darinya,
lalu aku bacakan kitab itu dihadapannya. Kemudian aku berkata, ‘Ini saya dengar
darimu.’ Ia berkata, ‘Benar.” - Tahdzibul Kamal IV:182. Lihat pula Al
Muhadditsul Fashil, 1984:367 -
Muawiyah berkata
kepada Al Mughirah bin Syubah
أُكْتُبْ
إِلَيَّ بِشَيْئٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص فَكَتَبَ الْمُغِيْرَةُ إِلَيْهِ:
أَنَّهُ كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Tulislah untukku sesuatu
yang engkau dengar dari Rasulullah saw. Maka Al Mughirah menulis untuknya:
‘Annahu yanha an qila waqala wa katsratas suali wa’idha’atal mal.” - H.R. Al Hakim, Ma’rifah Ulumil Hadits, hal. 100 -
Anas bin Malik yang
tinggal di rumah Rasulullah dan tidak kurang dari sepuluh tahun bergaul
dengannya, penah memerintah putranya untuk mengikat ilmu dengan tulisan. ( H.R.
Muslim , Shahih Muslim Syarah An Nawawi, I : 244 ; Al Muhadditsul Fashil, 1984
: 368)
Dalam riwayat lain
ia membacakan hadis-hadis, sehingga jika orang-orang berkumpul dalam jumlah
banyak, ia sering datang membawa catatan-catatan hadis, ia memperlihatkannya
dan mengatakan, “Ini semua adalah hadis-hadis yang aku dengar dan aku catat
dari Rasulullah saw., dan aku pernah memperlihatkannya kepada beliau” (Sunnah Qabla Tadwin, 1993 : 320 ; Tarikh
Bagdad, VIII : 259)
Inilah sebagian
riwayat yang menyatakan bahwa penulisan hadis lebih banyak terjadi pada masa
sahabat, melebihi banyaknya penulisan yang terjadi pada masa Rasulullah saw.
Pada masa ini, khulafaur
rasyidin secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan hadis. Namun
periwayatan hadis pada masa ini masih
terbatas. Umar bin Al Khatab mulai berpikir bagaimana kalau hadis Rasul;
dikodipikasikan, namun beliau hawatir kaum musl,im terus menerus mengkaji hadis
yang memang jumlahnya lebih banyak dari Al Quran. Pada suatu hari beliau
berkhutbah yang isinya antara lain: “Barangsiapa yang memiliki dari tulisan itu
walau hanya sedikit, maka hapuslah.”
(Jami’ bayanil Ilmi 1 : 65)
Demikian pula ditemukan sejumlah riwayat yang menyatakan
bahwa ulam-ulama besar sahabat memandang riskan terhadap penulisan hadis. Di
antaranya Ali bin Abi Thalib menyatakan:
إِعْزَمْ عَلَى كُلِّ مَنْ كَانَ
عِنْدَهُ كِتَابٌ إِلاَّ رَجَعَ فَمَحَاهُ
“Aku putuskan agar setiap
orang yang memiliki tulisan mengembalikan dan menghapusnya.” (Ibid.)
Meskipun
demikian, ternyata ada pula sahabat-sahabat lain yang menulis hadis pada masa
Rasulullah. Di antaranya Umar bin Al
Khatab sendiri yang pernah menyatakan ketidak setujuannya akan penulisan hadis,
ternyata menyatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Ibid., I : 72) Demikian
pula Abu Bakar menyatakan kesetujuannya.
Tampaknya yang menjadi penyebab berubahnya pandangan para
sahabat yang tidak setuju akan penulisan hadis adalah setelah terbukti adanya
beberapa perintah Nabi dan hilangnya sebab-sebab yang dikhawatirkan, terutama
setelah Al Quran dikumpulkan dalam benrtuk mushaf yang kemudian dikirim ke
segenap penjuru negeri.
Keterangan-keterangan di atas cukup menjadi bukti bahwa
tadwinul hadis benar-benar terjadi pada jaman sahabat, bahkan di antara para
sahabat yang pernah melarang pun toleran dan menyatakan perlunya penulisan
hadis-hadis, yang tentunya hal ini terjadi belum secara menyeluruh.
- Pada masa tabi’in
Pada masa tabi’in belum terjadi tadwinul hadis secara
besar-besaran, karena masih ditemukan keengganan beberapa tabi’in besar untuk
kodifikasi hadis ini. Di antaranya Amir bin Asy-Sya’bi pernah menyatakan:
مَا كَتَبْتُ سَوْدَاءَ فِى
بَيْضَاءَ وَلاَ سَمِعْتُ مِنْ رَجُلٍ حَدِيْثًا فَأَرَدْتُ أَنْ يُعِيْدُهُ عَلَيَّ
“Aku tidak menuliskan
sihitam di atas yang putih dan aku tidak mendengar sebuah hadis pun dari
seseorang, maka aku hanya ingin mengulangnya untukku.” (Ibid., I :67)
Keengganan mereka untuk mencatat hadis-hadis yang mereka
riwayatkan tiada lain karena merasa hawatir jika hadis-hadis tersebut
bercampur-baur dengan patwa-patwa tabi’in, sebab pada masa itu semakin banyak
patwa tabi’in yang dicatat.
Meskipun demikian, pada masa itu harakah penulisan hadis
terus berlangsung sehingga betul-betul memasyarakat, terutama menjelang
berakhirnya abad pertama Hijriyah pada masa kekhalipahan Umar bin Abdu Ajiz.
Dan tidak diragukan lagi bahwa pada masa inilah hadis-hadis secara resmi mulai
di kodipikasikan, dipelopori oleh Ibnu Syihab Az Zuhri (124 Hý.) dan Abu Bakar
bin Hazm (177 H.) pada tahun 99 H. atas perintah Khalifah Umar Bin Abdul Ajiz.
Khalifah pun tidak merasa
cukup dengan surat beliau kepada Ibnu Syihab dan Ibnu Hazm. Oleh karena itu
beliau mengirimkan pula beberapa surat ke segenap penjuru negeri memperkuat
permintaan beliau, sekaligus memberikan motifasi pada semua ahli ilmu untuk
memperdalam sunnah Rasul dan menghidupkannya.
Pada masa itu mulai terbentuk manhaj atau metodologi untuk menyeleksi hadis atau khabar yang
datang, terutama sekali yang berkenaan dengan Rasulullah dan para sahabatnya.
Di tangan Az-Zuhri-lah lahirnya asas-asas manhaj tadwinul hadis yang beliau
rangkum dalam kitabnya yang khusus. Akan
tetapi apa yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Ajiz dan kawan-kawan dari
kalangan tabi’in ternyata bukan pertanda selesainya urusan tadwinul hadis,
karena di situ masih terdapat kekurangan yaitu masih terjadi percampuran antara
qaul Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi’in.
- Masa at-tabi’ut tabi’in
Memasuki abad kedua Hijriyah mulailah bermunculan
kitab-kitab hadis yang ditadwin serta mushaf-mushaf dalam waktu yang tidak
berjauhan. Pada kurun inilah mulai bermunculan istilah-istilah para penyusun
yang menamai kitab susunan mereka dengan musanaf, Jami’ atau majmu’ dan masih
ada istilah-istilah lain. Akan tetapi tidak terjadi kesepakatan siapa di antara
mereka yang menyusun kitab secara musanaf
yag mubawab. Kita sebut saja di sini nama-nama para ulama yang diperselisihkan.
Antara lain: Di Makah; Abudul Malik Bin Abdul Aziz Bin Juraij (151 H.) Di Madinah; Malik Bin Anas dengan
Al-Muwaththa’nya (179 H.) Atau Muhamad Bin Isaq (151 H.) Di Basarah : Muhamad
bIn bdurahman Bin Abi Dzi’bin (158 H.) Dengan Muwaththa’nya yang dikatakan
lebih besar ari Al-Muwaththa’nya Imam Malik Bin Anas. Atau Said Bin Abi
Arubah(156 H) Di Kufah: Sufyan As-Sauri (153 H.) Di Syam: Imam Al-Auaz’i (157
H.) Di Yaman: Ma’mart Bin Rasyid (153 H.) Di Khurasan, Abdullah BinAl-Mubarak
(181 H.) Di Washit: Khusyaim Bin Bashir (183H.) Di Ray: Jarir Bin Abdul Humaid
(188 H.) Di Mesir; Abdullah Bin Wahab
Dari nama-nama tersebut di atas, kitab-kitab mereka pun
disebut dengan nama berlainan. Ada yang dengan sebutan Musanaf, Jami’, atau
terkadang hanya di sebut mualaf. Adapun yang paling terkenal yang memuat
hadis-hadis Rasulullah, fatwa-fatwa sahabat dan fatwa-fatwa tabiin adalah kitab
Al-Muwatha’nya Imam Malik Bin Anas.
Setelah itu muncul pula cara penulisan dengan sistim
Musnad. Dan yang paling pertama menyusun dengan cara susunan seperti ini adalah
Abu Daud Sulaiman At-Thayalisi (204 H.) Kemudian di ikuti oleh para imam
semasanya, seperti: Al-Asad Bin Musa Al-Amawi (212 H.) Kemudoan cara seperti
ini pun ditempuh oleh imam-imam setelah mereka. Antara lain: Ahmad Bin Hanbal
(241 H) Isaq Bin Rahawaih(237 H) dan Usman Bin Abu Syaibah (239 H). Akan tetapi
ternyata Musnad mereka masih tercampur antara yang sahih dan yang daif. Musnad
yang diakui paling besar adalah Musnad Ahmad bin Hanbal, di sampng paling luas.
Akan tetapi Musnad-musnad di atas telah terbebas dari tercampurnya dari
hadis-hadis maudu.
- Masa mutakhir dari masa
periwayatan
Memasuki kurun ketiga, tampilah Muhamad Bin Ismail
Al-Bukhari (261 H). Beliaulah yang pertama kali memisahkan hadis-hadis yang
sahih saja. Kemudian cara beliau seperti ini diikuti oleh ulama semasanya yang
sekaligus muris beliau, yaitu Imam Muslim Bin Hajaj (261H). Dan langkah Imam
Al-Bukhari ini diikuti pula oleh imam-imam semasanya, yang pada dasarnya tidak
mencapai kesahihan kumpulan hadis keduanya, bahkan masih banyak kekurangan.
Diantaranya: Abu Daud Sulaiman Bin As-as As-Sijistani (275 H) dengan sunannya.
Kemudian menyusul Abu Isa Muhamad Bin Isa At-Tirmidzi (627 H) dengan sahihnya,
walaupun pada kenyataannya masih banyak didapat hadis-hadis yeng ternyata daif.
Kemudian Ahmad Bin Syuaib An-Nasai(303 H) dengan sunannya. Setelah itu Ibnu
Majah, Abdulah Bin Muhamad Bin Yazid (237 H). Masa inilah masa puncak tadwinul
hadis yang sekaligus dikenal dengan sebutan tabwibul jam’i
Masuk kurun keempat H., pada ini pun banyak kitab-kitab
yang disusun walaupun tidak sebanyak kurun ketiga. Di antaranya masih bersandar
kepada kitab-kitab sebelumnya. Yang cukup termashur pada masa ini antara lain
Imam At-Thabrani (360 H.). Beliau menyusun tiga kitab besar; 1. Al-Mu’jamul
Kabir, 2. Al-Mu’jamul Ausath, dan 3. Al-Mu’jamush Sagir. Kemudian menyusul
Ad-Dara Quthni (385 H.) dengan Sunan-nya. Setelah itu Ibnu Hibban (364 H.)
dengan kitab Sahih-nya, walau pada kenyataannya Sahih Ibnu Hibban ini tidak
semuanya sahih, bahkan masih di bawah Sahih-nya Imam At-Tirmidzi. Setelah itu
Ibnu Khuzaimah (311 H.) dengan Sahih-nya pula. Dan tingkat sahihnya masih di
bawah Ibnu Hibban. Terakhir Imam At-Tahawi (321 H.).
Pada kurun selanjutnya
tidak terlalu banyak kitab hadis yang disusun, yang ada hanyalah
susulan-susulan (istidrak), seperti yang dilakukan oleh Abu Abdullah Al-Hakim.
Beliau meneliti ulang hadis-hadis Al-bukhari dan Muslim yang tidak dimasukkan
ke dalam kedua kitab Sahih-nya.
4) Rihlah fi thalabil hadis
Rihlah (bepergian) dalam
mencari hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi,
mengandung dua maksud/tujuan: Pertama, mendapatkan sanad ‘ali (sehingga jarak
antara orang yang rihlah dengan Rasul lebih dekat), dan mendahului sima’ pada seorang
syaikh daripada orang lain. Kedua, menemui para hafizh, berbicara langsung
dengan mereka, dan mengambil ilmu dari mereka. Dan jika dua hal di atas ada di
negerinya sendiri dan tidak ada dinegeri lain, maka rihlah tidak begitu
berguna. Itu sebabnya para ulama lebih mengutamakan mencari hadis di negeri
sendiri.
- Pengaruh rihlah dalam
menyatukan nash dan tasyri’
Perjalanan para pencari hadis mampu memperkokoh hubungan
di antara negara-negara Islam di dunia. Pengembaraan mereka terbukti telah
mempererat ikatan Timur dan Barat, seperti banyaknya ulama yang tidak lagi
menetap di satu daerah, bahkan negerinya sendiri. Mereka berpindah ke berbagai
kota. Dalam kitab-kitab Tabaqat sering dijumpai penisbahan rawi kepada negeri
asalnya dan menunjukkan kepada negeri tempatnya menetap, misalnya Nazzar bin
Abdul Aziz orang Baghdad yang datang ke mesir (Tarikh Baghdad XIV:437).
Di samping itu, pengaruh rihlah mereka bagi hadis sendiri
sangatlah positip. Paling tidak dapat menyatukan nash dan tasyri’, sekalipun sumber
asal riwayatnya berbeda-beda, karena pada mulanya hanya diriwayatkan oleh
orang-orang dari satu daerah saja, kemudian berkembang dengan perbedaan
ungkapan sesuai dengan perawinya di daerah masing-masing. Dan pada gilirannya
riwayat yang berbeda-beda itu sedikit demi sedikit lebur dalam satu acuan.
Sebagai contoh, hadis:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya amal-amal
itu beserta niat”.
Abdurrahman bin Mahdi (198 H,) mengatakan, “Seseorang
yang hendak mengarang sebuah kitab ilmu seyogyanya memulai dengan hadis ini.”
Senada dengan itu ialah penegasan Imam Al-Bukhari, “Barang siapa hendak
menyusun sebuah kitab, hendaknya ia memulai dengan hadis niat tersebut.” Sebagaimana kita ketahui, Imam Al-Bukhari menjadikan
hadis niat ini sebagai pembuka kitab Sahih-nya. Begitu pula dengan ulama-ulama
lain yang memulai penyusunan kitab hadis dengan hadis niat tersebut.
Kita akan menemukan hadis niat menjadi pembuka pada
banyak kitab hadis. Sedangkan matannya hampir seluruhnya sama, sehingga timbul
kesan bahwa hadis-hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat mutawatir, antara
lain hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak orang yang diterima dari
banyak orang pula. Padahal sebenarnya hadis ini, sebagaimana dinyatakan oleh
Ath-thabari, cuma diriwayatkan oleh Umar. Dari Umar hanya diterima oleh
Alqamah. Dari Alqamah hanya diterima oleh Muhammad bin Ibrahim. Dari Muhammad
hanya diterima oleh Yahya bin Sa’id. (Fathul Bari I:18). Jadi, hadis ini tidak
mutawatir sanadnya, karena Umar hanya meriwayatkannya sendirian. Lebih jauh
dari itu hadis tersebut hanya dikenal di Madinah, tetapi kemudian menyebar ke
kota-kota lain dengan bentuknya yang terkenal. (Ulumul Hadis, hal. 59).
Ini merupakan bukti kongkret bahwa perjalanan mencari
hadis berpengaruh bagi penyatuan nash (teks) hadis dan memindahkannya dari
daerah tempat asalnya ke berbagai daerah yang beragam. Hal itu terjadi karena
adanya rihlah para rawi, mereka saling bertemu dan menceritakan hadis yang
mereka terima kepada orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan.
Dampak rihlah tidak hanya sekedar dapat menyamakan
nash-nash seperti yang terjadi pada hadis niat itu, tetapi lebih jauh lagi
dapat menyatukan tasyri’ dan aqidah. Dari hadis ini, misalnya Imam Syafi’i
menggali 70 masalah fiqih. Demikian pula para ulama lainnya menemukan banyak
masalah fiqih dari hadis tersebut.
- Pengaruh Warna
kedaerahan dalam perkembangan hadis
Madinah ,“Negeri Sunnah”, yang sangat dihormati dan
sangat bersejarah bagi Rasulullah saw. adalah tempat pertama suburnya
kemunculan hadis. Di sana para sahabat saling mengutip hadis yang berkembang
dari mulut ke mulut. Kemudian pada gilirannya, para tabi’in mengambilnya dari
mereka dengan cara yang sama. Pada awal kemunculannya hadis bercirikan warna
kedaerahan.
Penduduk daerah-daerah lain yang tengah menunaikan ibadah
haji di Baitullah selalu menyempatkan diri singgah di madinah untuk mendengar
hadis langsung dari mulut penduduknya, seperti yang dikatakan oleh Abul
‘Aliyyah: “Kami pernah mendengar riwayat dari para sahabat Rasul di Bashrah,
tetapi kami masih kurang puas sebelum ke Madinah, dan mendengar sendiri dari
lisan mereka.” Bahkan Ibnul Madini dengan terus terang mengatakan, “Aku
menunaikan haji, tujuanku tiada lain hanyalah agar dapat mendengar hadis.” (Sunan
At-Tirmidzi I:196).
Apabila penduduk Madinah pada awal pertumbuhan hadis,
menyendiri dalam periwayatan sebagian banyak Sunnah Nabi, maka demikian pula
halnya dengan penduduk wilayah lain dalam waktu dekat mulai meriwayatkan
sendiri kumpulan hadis yang mula-mula hanya terkenal di wilayah sendiri.
Kemudian sesudah melalui waktu yang relatip, hadis-hadis menjadi tersiar di
banyak negeri lewat lisan para perawi.
Karena itu, dalam kitab-kitab hadis kita sering menemukan
ungkapan “hadis ini diriwayatkan sendirian oleh penduduk Madinah”, “ini adalah
hadis penduduk Syam”, dan lain sebagainya.
- At-Tasyaddud (sangat
keras) dalam urusan sanad
Apabila perjalanan mencari hadis itu berpengaruh bagi
penyatuan tasyri’ dan i’tiqad, maka konsekwensinya menuntut adanya upaya
memperketat atau bersikap selektif dalam urusan sanad. Setiap orang yang namanya disebut dalam sanad harus
benar-benar di kenal dan diketahui, karena “mengetahui rijal-rijal hadis adalah
separuh ilmu” , demikian yang dinyatakan Ali Al-Madini.
Oleh karena itu, para ulama menetap syaratkan bagi
diterimanya riwayat dari seseorang yang menyatakan dirinya telah mencari hadis,
bahwa hendaknya ia dapat menyebutkan di luar kepala seluruh nama rawi yang
menjadi silsilah hadis tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa orang
tersebut memang benar-benar telah mendengar apa yang ia riwayatkan. Jika tidak
demikian, ia dapat dianggap perawi tasahul (serampangan), dan hadisnya tidak
dapat digunakan sebagai hujjah.
Setelah sejumlah kitab
hadis disusun, perjalanan mencari ilmu masih dirasakan perlu dilakukan.
kitab-kitab tersebut memang dapat menjadi jalan pintas bagi mereka yang tidak
ingin bersusah payah dan suka serampangan. tetapi, orang yang memuliakan ilmu
dan ingin menemukan kebenaran tentu tidak akan merasa puas hanya dengan membaca
kitab-kitab hadis yang ada. Keinginan itulah yang selalu menggoda orang-orang
yang tidak hendak berpuas diri, yang tetap melakukan rihlah mencari hadis.
- Kedudukan orang
yang tasahul dalam urusan hadis.
Abu Bakar Ahmad, yang lebih dikenal
dengan sebutan Al Khatib Al Bagdadi (1460 H.) telah memperingatkan orang yang
tasahul (ceroboh) dalam urusan hadis. Dalam muqadimah kitabnya Al Kifayah fi
‘Ilmir Riwayah Al Khatib berkata, “Ada segolongan orang pada jaman kita yang mengerahkan
kegenap kemampuannya untuk menulis hadis. Mereka dengan giat mengumpulkan hadis
tidak dengan cara-cara yang lazim dilakukan oleh para ulama terdahulu dan tidak
pula mempertimbangkan keadaan rawi dan riwayat menurut cara pandang ulama
salap. Mereka tidak membedakan cara yang buruk dengan cara yang baik, tidak
bersandar pada hukum-hukum yang terdapat pada hadis, mereka sudah merasa puas
mendapatkan hadis meski hanya namanya saja, yang penting bagi mereka bahwa
mereka telah menulisnya dalam lembaran-lembaran catatan hadis. Mereka
orang-orang yang bodoh membawa kitab-kitab besar dengan sikap pamer. Sayangnya
mereka telah menanggung kesulitan serta kepayahan dalam pengembaraan dalam
pencarian hadis ke negeri-negeri yang jauh. Mereka hadapi segala rintangan,
bahkan rela mengorbankan jiwa dan hartanya. Penampilan mereka menjadi
menyedihkan yaitu dengan rambut kusut, muka pucat, dan kelaparan. Mereka
kehabisan waktu-waktunya pergi ke negeri-negeri jauh demi mencari sanad yang
‘ali. Mereka hanya menginginkan itu. Mereka menerima hadis dari orang-orang
yang diragukan kejujurannya. Mereka meriwayatkan hadis dari orang yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan kesahihan hadisnya. Mereka berhujjah dengan orang
yang tidak dianggap baik bacaan sahifahnya (catatan) dan tidak memenuhi
sedikitpun dari sarat-sarat periwayatan...”
(Al Kifayah, Hal. 3-4)
5. Lembaga-lembaga
hadis dan gelar-gelar para muhadis.
- Lembaga hadis dan
pengaruhnya pada rihlah.
Pada abad keenam Hijriyah kehidupan
ummat Islam kelihatan agak lesu karena melemahnya kegiatan pencarian hadis.
Samapai pada abad tersebut dalam masyarakat Islam belum terdapat
madrasah-madrasah husus mengajarkan hadis. Madrasah madrasah yang ada hanya mengajarkan
fiqih secara mendalam berikut mazhab-mazhabnya, di samping pemikiran para
mujtahid yang tersebar di mana-mana. Tujuannya hanya untuk membentuk
kader-kader qadi atau hakim dan tenaga legeslatif.
Pada abad keenam itu, untuk pertama
kali berdiri madrasah hadis atas prakarsa Nuruddin Mahmud bin Abi Sa’id Zanki
wafat 569 H., yang namanya kemudian diabadikan dengan mendirikan madrasah di
Damasqus. Salah seorang guru di madrasah tersebut adalah Ibnu Asakir penyusun
kitab Tarih Madinatu Damsyik (yang terdiri dari 80 jilid). (Ulumul Hdis, Hal.
73)
Puluhan tahun berikutnya, di Kaira
berdiri pula madrasah hadis atas prakarsa
penguasa Al-Kamil Nasyiruddin. Peresmiannya dilakukan pada tahun 622 H.,
Abu Al-Khatab bin Dahyah (w. 633 H.) adalah guru pertama di sana.
Empat tahun setelah itu, di Damaskus
berdiri lagi madrasah Al Asyrafiyah pada tahun 626 H. Pengajar pertamanya ialah
Abu Amr bin Ash-Salah yang wafat 643 H.
dan Imam An-Nawawi (w. 676 H.) turut mengajar pula di madrasah tersebut.
Di Damaskus juga berdiri beberapa
madrasah hadis lagi, namun pengelolaannya tanpak tidak terlalu serius, sehingga
tidak heran jika usianya tidak bertahan lama. Hal ini diSebabkan oleh madrasah
ini hanya dijadikan batu loncatan untuk meraih jabatan pemerintahan. Hal itu tidak
memenuhi kebutuhan orang-orang yang haus akan hadis, sehingga mereka harus
berkelana lagi ke berbagai negeri.
- Laqab-Laqab Para
Muhadis.
Para Ulama tidak hanya memberikan
berbagai gelar kepada orang yang suka mengembara mencari hadis, tetapi juga
kepada yang mempelajarimya baik itu dilakukan di negerinya sendiri maupun di
negeri orang lain. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkatan dan ragam
kesilitan di dalam menerima dan menyampaikan hadis:
1. Al Musnid
هُوَ
مَنْ يَرْوِى الحَدِيْثَ بِسَنَدِهِ سَوَاءٌ
أَكَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهِ أَمْ لَيْسَ إِلاَّ مُجَرَّدُ الرِّوَايَةِ
2. Al Muhaddis
هُوَ
مَنْ يَشْتَغِلُ بِعْلِمِ الحَدِيْثِ رِوَايَةً أَوْ دِرَايَةً وَيُطْلِعُ عَلَى كَثِيْرٍ
مِنَ الرِّوَايَاتِ وَأَحْوَالِ رُوَاتِهَا
3. Al Hafidz
هُوَ
مَنْ حَافَظَ مِائَةَ أَلْفِ حَدِيْثٍ مُسْنَدَةٍ
4. Al Hujjah
هُوَ
مَنْ أَحَاطَ بِثَلاَثِ مِائَةِ أَلْفِ حَدِيْثٍ مُسْنَدَةٍ
5. Al Hakim
هُوَ
مَنْ أَحَاطَ بِالسُّنَّةِ وَلَمْ يُفْتِهِ إِلاَّ اليَسِيْرَ
6. Amirul mu’minin
fil hadis
هُوَ
مَنْ فَاقَ حِفْظًا وَإِتْقَانًا وَتَعَمُّقًا فِى عِلْمِ الحَدِيْثِ وَعِلَلِهِ
Amirul mu’minin adalah merupakan
tingkatan gelar yang tertinggi, di mana ia menjadi rujukan bagi gelar tingkatan
di bawahnya. Tingkatan gelar ilmiyah ini ditinjau dari segi hapalan dan
pemahaman bukan karena banyaknya catatan atau kitab, sehingga orang yang
memiliki banyak catatan atau kitab, namun tidak hapal, maka tidak dipandang
sebagai ahli ilmu hadis.
Barangkali sifat hafidz yang
terpenting, seperti yang didefinisikan oleh para ulama, dia memiliki pemahaman
yang cukup luas mengenai para rawi dan guru-gurunya berikut martabat mereka.
Para ahli hadis yakin bahwa
penyandang predikat al-hafidz saat ini sudah sangat langka, bahkan hampir tidak
ada. Sarat-saratnya yang begitu berat menyebabkan tidak sembarang orang mampu
memenuhinya. Maka predikat al-hafidz ini memang harus menjadi milik para ahli
hadis saja.
6. Periwatan hadis
- Periwayatan hadis
bil lafdzi wal ma’na.
Kebanyakan sahabat lebih
mengutamakan riwayat dengan lafadz. Seorang sahabat pernah ditanya, “Mengapa
kamu tidak menceritakan hadis seperti sipulan atau sipulan.” Ia menjawab,
“Tentu saja, karena apa yang aku dengar tidak seperti apa yang mereka dengar,
atau apa yang aku saksikan tidak seperti apa yang mereka saksikan.
Kadang-kadang orang suka berlebih-lebihan, tetapi apa yang aku dapatkan sudah
cukup. Aku tidak suka menambah maupun mengurangi hadis Rasulullah.” (Al
Kifayah, Hal. 172)
Karena itulah para sahabat sangat
berhati-hati untuk mengubah lafadz hadis Nabi atau mengngantikan suatu kalimat
denga kalimat lain meskipun secara makna sama.
Pada masa tabi’in dan generasi
sesudahnya sebagian besar rawi hadis menyampaikan riwayat dengan lafadz persis
yang diucapkan oleh Rasululllah, walaupun ada di antaranya yang berpendapat
tidak apa-apa meriwayatkan hadis menurut maknanya saja.
- Penerimaan
sahabat terhadap perubahan lafadz hadis.
Para ulama melarang meriwayatkan
hadis berdasarkan makna kecuali untuk sahabat. Abu Bakar bin Al-Arabi
mengatakan, “Sesungguhnya perbedaan ini hanya ada pada masa sahabat saja.
Adapun selain dari mereka tidak diperbolehkan mengganti lafad dengan makna,
walaupun makna tersebut dianggap cukup (sesuai)... Karena setiap orang sampai
zaman kita sekarang ini telah mengubah apa yang ia kutip dan menggati huruf
dengan huruf lain semaunya sendiri, sehingga secara keseluruhan keluar dari
hadis Rasul. Berbeda halnya dengan para sahabat, sesungguhnya memiliki dua hal
sekaligus; Pertama, kefasihan dalam
berbicara, mengingat perangai mereka dalah Arab dan bahasanya adalah cermin
tabi’at serta budi pekertinya. Kedua, karena mereka menyaksikan sendiri sabda
dan perbuatan Nabi saw. Penyaaksian itulah yang secara keseluruhan dapat
memantapkan faidah dan memenuhi semua sasaran. Orang yang memperoleh khabar
tidak seperti orang yang melihat dengan mata kepala sendiri. Tidakkah anda
melihat mereka dalam setiap hadis selalu mengatakan: “Rasulullah saw. menyuruh
demikian” dan “Rasulullah melarang perbuatan begini.” tanpa menyebutkan
lafadznya? Itulah hadis yang sahih dan
kutipan yang kuat, yang seharusnya dijelaskan.” (Ahkamul Quran I : 10)
- Sarat-sarat
riwayat bil ma’na
Ulama yang memperbolehkan riwayat hadis
berdasarkan makna menentukan beberapa persaratan. Di antaranya;
1. Rawinya haruslah
seorang yang ahli ilmu Nahwu, Saraf, dan ilmu bahasa.
2. Harus mengerti
konitasi-konotasi lafad dan maksud-maksudnya
3. Harus memahami
perbedaan lafadnya
4. Mampu
menyampaikan hadis dengan tepat
Al-Ashma’i berkata, “Saya hawatir
orang yang tidak mengerti bahasa Arab termasuk dalam sabda Nabi, “Siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduknya
di neraka.” (Ikhtisar Ulumil Hadis :
162)
7.Metode Penerimaan
hadis dan bentuk-bentuk penyampaiannya
Adapun mengenai metode penerimaan
dan bentuk-bentuk penyampaian Ah-hadis atau Al-Khabar terdapat beerapa istilah
yang mu’tabar
a. As -Sima’ :
Adalah seorang Syaikh membacakan hadis, baik dari hapalanmnya maupun dari
catatannya, sedangkan yang hadir mendengarkan lafadznya.
Bentuk penyampaiannya: سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِى أَوْ حَدَّثَنَا أَوْ ثَنَا
b. Al-Qiraah
(Ardhun) : Adalah murid membaca, baik dari hafalannya maupun catatannya.
Sedangkan syaikh mendengarkan bacaan itu.
Bentuk
penyampaiannya أَخْبَرْنَا أَوْ حَدَّثْنَا قِرَائَةً عَلَيْهِ
c. Al-Ijazah:
Adalah izin untuk meriwayatkan, baik secara lisan maupun tulisan. Misalnya
syaikh mengatakan, “Aku izinkan kamu untuk meriwayatkan Sahih Al Bukhari
dariku.”
Bentuk
penyampaiannya: أَجَازَلِي
فُلاَنٌ أَوْ حَدَّثَنَا إِجَازَةً أَوْ أَخْبَرَنَا إِجَازَةً
d. Al Munawalah : Al Munawalah ada dua macam:
d.1
Disertai dengan izin, yaitu syaikh menyerahkan kitab atau catatannya kepada
murid seraya berkata, “Ini riwayatku dari sipulan, maka riwayatkanlah olehmu
dariku.”
d.2.Tidak
disertai izin, yaitu syaikh menyerahkan catatannya kepada murid dengan hanya
mengatakan, “Ini adalah riwayat yang saya dengar.”
Bentuk
penyampaiannya: حَدَّثَنَا مُنَاوَلَةً أَوْ أَخْبَرَنَا مُنَاوَلَةً
وَإِجَازَةً
e. Al-Kitabah :
Adalah syeikh menulis riwayat yang ia dengar untuk orang yang hadir atau yang
tidak hadir baik dengan tulisan sendiri atau tulisan orang lain atas
perintahnya. Al Kitabah ada dua macam:
e.1.Disertai
dengan izin. Misalnya syekh mengatakan, “Aku izinkan kamu meriwayatkan apa yang
aku tulis untukmu.”
e.2
Tidak disertai izin, seperti syeikh menulis sebagian hadis untuk muridnya tanpa
disertai izin untuk meriwayatkannya.
Bentuk
penyampaiannya: حَدَّثَنِى فُلاَنٌ أَوْ أَخْبَرَنِى كِتَابَةً
f. Al-I’lam: Adalah
syeikh memberitahukan kepada murid bahwa hadis ini atau kitab ini adalah yang
ia dengar
Bentuk
penyampaiannya: أَعْلَمَنِى شَيْخِى بِكَذَا
g. Al-Washiyyah:
Adalah syeikh mewasiatkan sebelum wafatnya atau sebelum safarnya kepada
seseorang dengan satu kitab yang ia riwayatkan.
Bentuk peyampaiannya: حَدَّثَنِى فُلاَنٌ وَصِيَّةً
h. Al-Wijadah:
Adalah murid menemukan beberapa buah hadis riwayat seorang syeikh yang ia kenal
tetapi ia tidak mendengar hadis darinya atau mendapatkan izin untuk
meriwayatkannya, kemudian ia menyusun sanad darinya.
Sigat
penyampaiannya: وَجَدْتُ بِخَطِّ فُلاَنٍ أَوْ قَرَأْتُ بِخَطِّ
فُلاَنٍ كَذَا
8. Cakupan ulumul
hadis
- Ad-Dirayah dan
Ar-Riwayah
Ilmu hadis
Ar-Riwayah adalah:
هُوَ
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَالِ النَّبِيِّ e وَأَفْعَالِهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَصِفَاتِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا
وَتَحْرِيْرِ أَلْفَاظِهَا
“Ilmu yang mencakup
atas ucapan-ucapan Nabi, perbuatan-perbuatannya, takrirnya, sifat-sifatnya,
periwayatannya, pembenarannya, dan penuliasan lafadznya.” (Manhajun Naqd: 30)
Ilmu hadis
Ad-Dirayah adalah:
هُوَ
عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ وَقَوَاعِدَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالمَتْنِ مِنْ
حَيْثُ القَبُوْلُ وَالرَّدُّ
“Ilmu tentang dasar-dasar
dan kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad dan matan dari segi deterima
dan ditolaknya.” (At Taisir: 15)
Istilah lain yang lazim dipakai oleh para ulama ahli
hadis bagi ilmu ini ialah Ulumul Hadis, Musthalah Hadis , dan Ushulul Hadis.
- Hal ihwal rawi dan marwi
( riwayat)
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadis sekaligus
dengan sanadnya.
Mengenai keadaan para
rawi, dalam arti mereka dapat deterima atau ditolak tergantung pada cacat dan
adilnya, asal-usul dan latar belakang keluarganya, serta mengenai lahir dan
wafatnya.
Adapun marwi pada umumnya adalah sesuatu yang disandarkan
kepda Nabi atau kepada yang lainnya yaitu sahabat dan tabi’in.
Keadaan marwi harus memenuhi
beberapa sarat riwayat antara lain: Apakah sanad-sanadnya muttashil
(bersambung) atau ‘inqitha (terputus), mu’dhal
atau yang serupa dengannya.
- Makna penerimaan
rawi dan marwi serta penolakkannya.
Kalau berbicara tentang diterima
atau tidaknya rawi yang meriwayatkan, bukan berarti yang diterima harus
diamalkan dan yang ditolak tidak boleh diamalkan. Tapi yang kami maksudkan
dengan diterima dan dotolaknya itu hanyalah dari segi penukilan (pengutipan)nya
saja. Jadi kalau kita siap menerima seorang rawi, itu artinya kita menganggap
benar apa yang diriwayatkannya dan siap untuk menggunakannya. Kalau kita
menolaknya, itu artinya kita tidak menganggapnya dan membiarkan apa yang
diriwayatkannya. Begitu pula kalau kita menerima marwi, itu artinya kita
meyakini keabsahannya. Sebaliknya kalau kita menolaknya berarti kita meragukan
keabsahannya.
- Ilmu Al-Jarh dan
At-Ta’dil
Ilmu ini membahas tentang hal ihwal
para rawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih, dengan
menggunakan lafad-lafad tertentu. Ini adalah buah ilmu hadis dirayah dan merupakan
bagian terbesarnya.
Banyak yang menelaah ilmu ini, mulai
dari para sahabat hingga ulama-ulama ahli hadis. Dari kalangan sahabat ialah:
Ibnu Abas (96 H) dan Anas bin Malik (93 H). Dari para tabi’in seperti:
As-Sya’bi (104 H) dan Ibnu Sirin (110 H). Dari tabi’in yang lebih muda ialah:
Al-A’masy (148 H), Syu’bah (160 H) dan malik (179 H). Kemudian menyusul Ibnul
Mubarak (181 H), Ibnu Uyainah (197 H) dan Abdurrahman bin Mahdi (198 H).
Pengembangan ilmu ini mencapai puncaknya pada masa Yahya bin Main (233 H) dan
Ahmad bin Hanbal (241 H).
- Ilmu Rijalul
Hadis
Ilmu ini mencakup tanggal kelahiran
wari, kewafatannya, ayahnya, nama jelasnya/lengkapnya, kunyahnya, kuat lemahnya
di dalam periwayatan hadis dan lais sebagainya tenttang hal ihwal dan keadaan
para rawi. Maka dengan ilmu ini dapat diketahui layak dan tidak layaknya
seseorang menjadi perawi hadis.
Orang pertama yang memeliki
kedudukan yang paling tinggi dibidang ini adalah imam Al-Bukhari (256 H). Dalam
bukunya At-Thabaqat, Ibnu Sa’ad (230 H) juga banyak menjelaskannya.
- Ilmu Mukhtalaful
Hadis
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
bertentangan secara tekstual, namun ada kemungkinan hadis itu menjadi diterima
dan bahkan sampai diamalkan setelah melalui proses penggabungan, penyaringan
dan syarat-syarat lainyya yang sudah ditentukan.
Para penulis ilmu ini antara lain:
Imam As-Syafii (204 H), Ibnu qutaibah (274 H), dan Abu Yahya Zakariya bin Yahya
As-Saji (307 H).
- Ilmu ‘Ilalul
Hadis
Ilmu yang membahas tentang
sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keabsahan suatu hadis, seperti
memutasilkan hadis yang munqothi, memarfu’kan hadis yang maukuf. Ilmu ini
menentukan apakah suatu hadis termasuk dhaif, sekali pun lahirnya hadis
tersebut seperti tidak berilat dan sahih. Dengan kata lain ilat hadis ini
ditemukan kemudian setelah pernah disangka sahih atau paling tidak hasan. Ilah
hadis tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang mendalaminya dan
memeliki ilmu dan ketelitian yang lebih
Di antara penulis ilmu ini adalah:
Ibnul Madini (234 H), Ibnu Abi Hatim (237 H), dan Ad-Daruqutni (375 H).
- Ilmu Gharibul
Hadis
Ilmu yang membahas dan menjelaskan
lafad-lafad yang terdapat dalam hadis Rasul yang sukar diketahui dan tidak
dipergunakan lagi oleh kebanyakan orang Arab sendiri. Penulis
kitab pertama tentang ilmu tersebut ialah: Abu Ubaidillah, Ma’mar bin
Al-Mutsanna Al-Bisri (210 H)
- Ilmu Nasikh dan
Mansukh hadis
Ilmu yang membahas tentang
hadis-hadis yang bertentangan dan tidak mungkin dijam’u. Penulis kitab tentang
nasikh dan mansukh hadis antara lain Ahmad bin Isaq Ad-Dinari (584 H) dan Ibnul
Jauzi (597 H).
9. Maratib
(tingkatan kitab-kitab hadis)
- Thabaqat Kitab
hadis
Thabaqat tingkat pertama: Sahih
Al-Bukhari dan Muslim, serta Muwatha Malik bin Anas. Di sana diberikan
klasifikasi hadis-hadis yang mutawatir, yang sahih, dan yang hasan.
Thabaqat tingkar kedua: Sahih
At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Musnad Ahmad, dan Al-Mujtaba (As-Sunanu Sagir
An-Nasai)
Thabaqat tingkat
ketiga: Musnad At-Tayalisi, Musanaf Ibnu Abi Syaibah, Musanaf Abdur Razak,
Musnad Al-Humaidi, dan As-Sunannu Qubra Al-Baihaqi.
- Ta’rif
Kitab-Kitab Riwayat dan Musnad
Para ulama hadis telah menyusun
kitab hadis dengan bentuk dan metodelogi yang beraneka ragam, di antaranya:
1. Kitab hadis yang
disusun berdasarkan bab-bab
a. Al-Jami’:
kitab hadis yang disusun bedasarkan bab-bab yang didapati padanya hadis-hadis
tentang seluruh topik agama, seperti aqidah, hukum, sirah, adab, tafsir,
fitnah, tanda-tanda qiyamat, dan manaqib. Di antaranya: Al-Jami’ As-Sahih Karya
Al-Bukhari dan Al-Jami’ As-Sahih Mulim
b. As-Sunan:
Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih dan menghimpun
hadis-hadis hukum yang marfu’. Di antaranya: kitab sunan imam yang empat
(At-Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah).
c. Al-Musanaf
: Kitab hadis yang disusun berdasarkan bab, tetapi mencakup hadis mauquf dan
hadis maqtu yang disandarkan kepada hadis marfu’. Di antaranya: Al-Musanaf Abdu
Razak dan Musnanaf Ibnu Abi Syaibah
d. Al-Mustadrak
Kitab yang
menghimpun hadis-hadis yang disusulkan oleh pengarangnya pada kitab lain
berdasrkan syarat penyusun kitab lain itu. Di antaranya: Al-Mustadrak Al-Hakim.
e. Al-Mustakhraj:
Kitab yang berisi hadis-hadis dari kitab lain yang diriwayatkan oleh penyusunnya
dengan sanad yang berbeda, lalu bertemu atau bersatu di tengah sanad penyusun
kitab asal. Di ntaranya: Al-Mustahkraj ala Sahihain susunan Abu Nuaim.
2. Kitab hadis yang
disusun berdasarkan nama-nama sahabat.
a. Al-Musnad:
Kitab yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan urutan sahabat. Ada yang disusun
berdasarkan huruf hijaiyah, atau waktu keIslamannya, atau keutamaannya. Di
antaranya: Al-Musnad Imam Ahmad dan Al-Musnad Abu Ya’la Al-Musili.
b. Al-Atraf :
Kitab yang diringkas oleh penyusunya dengan menyebutkan sebagian matan hadis
saja kemudian disebutkan sanad-sanad setiap matan tersebut dalam maraji’
aslinya. DI antaranya: Tuhfatul Ashraf bima’rifatil Athraf, susunan Yusuf bin
Abdurrahman Al-Mizi.
c. Al-Mu’jam
: Kitab yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan urutan syaikh dan biasanya
disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah. Di Antaranya: Al-Mu’jamul Kabir,
Al-Ausat, dan As-Sagir, susunan Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani. Al-Mu’jamul
Ausath dan As-Sagir disusun berdasarkan nama guru-guru At-Thabrani sedangkan
Al-Mu’jamul Kabir disusun berdasarkan nama sahabat.
d. Kitab-kitab
Sahih
d.1. Sahih
Al-Bukhari, susunan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari
d.2. Sahih
Muslim, susunan Muslim bin Al-Hajaj
d.3.
Sahih Ibnu Khuzaimah, susunan Abu bakar Muhammad bin Isaq bin Khuzaimah
(311 H)
d.4.
Sahih Ibnu Hiban, susunan Abu Hatim Muhammad bin Hiban bin Ahmad bin
Hiban (354 H)
d.5.
Sahih Ibnu Sakan, susunan Abu ali Said bin Usman bin Said Ibnu sakan
(353 H)
d.6.
Sahih Al-Ismaili, susunan Abu Bakar Ahmad bin Ibrahim bin Ismail (371 H)
Penyebutan sahih
tersebut bersifat umum saja, karena kitab-kitab sahih selain Al-Sahihain
kualitasnya berada di bawah kedua kitab tersebut. Oleh karena itu
hadis-hadisnya tidak mutlak dapat dipakai hujjah.
- Kitab-kitab
As-Sunan dan kelebihan serta kekurangannya
a.
Sunan Abu Daud, susunan Sulaiman bin Al-’Asy’ats As-Sijistani (275 H).
Jumlah hadisnya sebanyak 4800 hadis dan dibagi menjadi 35 buah kitab. Sedangkan
jumlah bab sebanyak 1871 bab.
b.
Sunan At-Tirmidzi, susunan Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (279 H).
Sunan At-Tirmidzi merupakan salah satu sumber hadis hasan yang paling penting.
Dalam Kitab tersebut terdapat empat bagian: Bagian yang dipastikan
kesahihannya; Bagian yang sesuai dengan syarat Abu daud dan An-Nasai; Bagian
yang jelas illatnya; Bagian keempat yang telah diamalkan oleh sebagian ulama.
c.
Sunan An-Nasai, susunan Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An-nasai (303 H). Sunan An-Nasai
yang pertama kali disusun adalah As-Sunanul Kubra yang berisi hadis sahih,
hasan, dan ada pula yang dha’if. Atas permintaan Amir Ar-ramlah kitab tersebut
diseleksi kembali dan hadis-hadis sahihnya dipisahkan, kemudian dihimpun dalam
satu kitab tersendiri yang dinamai As-Sunanus Shughra atau Al-Mujtaba yang
kemudian populer dengan sebutan sunan An-Nasai. Sunan inilah yang dikategorikan
sebagai salah satu kitab dalam kutubus sittah.
d.
Sunan Ibnu Majah, susunan Muhammad bin Yazid Al-Qazwaini (273 H)
Kelebihan dan
kekurangannya
·
Di
dalam Sunan Abu Daud dihimpun segala macam hadis yang menyangkut soal hukum
dengan sistimatika yang baik dan indah. Di samping itu pada umumnya diterangkan
penilaian terhadap para perawi dan hadis-hadisnya. Sunan At-Tirmidzi memberikan tambahan
pengetahuan tentang ilmu hadis. Sunan Ibnu Majah menampilkan fikih yang
sistematis. Dan Sunan An-Nasai memberikan faidah fikih matan dan sanad hadis.
·
Pada
kitab-kitab tersebut masih dicantumkannya hadis-hadis dhaif dan hadis-hadis
yang tidak disepakati kesahihannya oleh para ulama. Menurut pandangan kami hal
ini merupakan kelemahan dari kitab-kitab tersebut.
Oleh karena itu, bagi para peneliti
dan peminat hadis hendaknya tidak terlalu cepat mengambil hadis dari
kitab-kitab tersebut, baik yang telah dijelaskan statusnya ataupun belum,
kecuali setelah diteliti dan dikaji ulang secara mendalam sampai diketahui
statusnya; Sahih, Hasan, atau Dhaif.
12. Klasifikasi
rawi dengan cara mengetahui sifatnya
Ditinjau dari segi diketahui dan
tidaknya sifat-sifat rawi, maka rawi-rawi hadis terbagi kepada dua bagian.
Pertama, yang diketahui sifatnya: mu’addal atau majruh. Kedua, yang tidak
diketahui sifatnya: majhul.
- Majhul terbagi
kepada dua macam:
1.
Majhul ‘ain : هُوَ
مَنْ ذُكِرَ اسْمُهُ وَلَكِنْ لَمْ يَرْوِ عَنْهُ إِلاَّ رَاوٍ وَاحِدٌ
“Yaitu seorang rawi disebut namanya, tetapi
tidak ada yang meriwayatkan hadis darinya kecuali seorang (muridnya hanya
seorang).
2. Majhul hal
(al-mastur) : مَنْ
رَوَى عَنْهُ اثْنَانِ فَأَكْثَرَ لَكِنْ لَمْ يَوَثَّقْ “Seseorang yang diriwayatkan hadisnya oleh dua orang
rawi atau lebih tetapi tidak ada seorang pun yang menilainya tsiqat”