Ada dua ungkapan
yang sederhana dan sarat makna serta mejadi faktor penentu terbangunnya
soliditas dan solidaritas sebuah harakah dakwah. Ungkapan yang dimaksud adalah
ikhwatun dan ikhwanun. Kedua ungkapan ini sering diterjemahkan dengan “beberapa
saudara”, dan tidak salah diterjemahkan seperti itu. Namun sebenarnya, terdapat
perbedaan makna di antara keduanya. Karena ikhwatun adalah saudara yang
disebabkan faktor ansab (nasab, keturunan darah), sedangkan ikhwanun adalah
saudara yang disebabkan faktor ashab (persahabatan, perkawanan). Tetapi ketika
Alquran membicarakan kaum mukmin, ternyata ungkapan yang digunakan adalah
ikhwatun bukan ikhwanun, padahal banyak di antara kaum mukmin yang tidak satu
nasab. Coba kita perhatikan firman Allah dalam surat al-Hujurat:10
team work yng kuat ini akan
muncul ketika diikat oleh koridor-koridor
sebagai berikut.
Paradigma
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu tiada
lain bersaudara.
Walaupun tidak satu nasab, tidak satu
turunan, tidak seibu sebapak tapi orang mukmin dengan mukmin lainnya dinyatakan
sebagai saudara oleh Alquran. Dengan demikian, apa sebenarnya yang
mengikhwankan antar sesama mukmin. Kita cermati sabda Rasulullah saw. dalam
riwayat Ahmad
إِنَّ الْمُؤْمِنَ
مِنْ أَهْلِ الْإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ يَأْلَمُ
الْمُؤْمِنُ لِأَهْلِ الْإِيمَانِ كَمَا يَأْلَمُ الْجَسَدُ لِمَا فِي الرَّأْسِ *
Sesungguhnya seorang mukmin di antara ahli Iman itu sama kedudukannya dengan kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena sakitnya ahlu iman, sebagaimana jasad merasakan sakit karena rasa sakit di kepala.
Hadis ini saya kutip dari kitab Musnad Ahmad yang 50 jilid, pada jilid 37, hal. 517, No. hadis 22.877, baris ka-3 tiluhur. Catatan sedikit untuk kehati-hatian.
Kitab Musnad Imam Ahmad yang telah terbit sekarang ada
4 versi
[a] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini pertama kali dicetak oleh al-Mathba’ah
al-Maimuniyyah, Mesir, tahun 1313 H/1895 M. Kemudian dicopy oleh Maktabah
al-Islami dan Dar Shadir, Beirut, dan diterbitkan bersama kitab Muntakhab
Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’al pada hamisy (pinggir
halaman kitab) sebanyak enam jilid. Pada jilid pertama disertakan fahras
rawi-rawi kitab musnad susunan Syekh Nashir al-Din al-Albani.
[b] Al-Musnad li al-Imam Ahmad Muhammad
bin Hanbal
Kitab ini dicetak oleh Maktabah Dar al-Kutub al-Islami tahun
1949 M dengan syarh (komentar) dan tahqiq (editing) oleh Ahmad
Muhammad Syakir sebanyak sepuluh jilid, masing-masing 2 juz. Namun beliau tidak
sempat menyelesaikannya karena beliau lebih dahulu meninggal dunia. Jumlah
hadis yang sempat ditahqiq dalam kitab tersebut sebanyak 10.637.
[c] Al-Musnad li al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini dicetak pertama kali tahun 1991 oleh Dar el-Fikr,
Beirut, dengan tahqiq (editing) oleh Abdullah Muhammad al-Darwisyi,
sebanyak 10 jilid dengan jumlah hadis 27.718. Pada jilid terakhir disertakan
kitab al-Qaul al-Musaddad fi al-Dzabbi ‘an Musnad al-Imam Ahmad, karya
Ibn Hajar al-Asqalani.
[d] Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Kitab ini dicetak pertama kali
tahun 1995 oleh Muassasah al-Risalah, Beirut, dengan tahqiq (editing)
oleh al-Syekh al-Muhaddits Dr. Syu’aib al-Arnauth dan kawan-kawan (empat
orang dibantu tujuh orang asisten), sebanyak 50 jilid (plus fahras/indeks 5
jilid/jilid ke-46 s/d ke-50) dengan jumlah hadis 27.647.
Dengan kalimat min ahlil iman menunjukkan bahwa kaum mukmin dikatakan ikhwatun karena al-jami’u ikhwatun fid din, mereka saudara seiman, Keadaan mereka sama dengan keadaan orang yang senasab, seketurunan darah.
Dengan sebutan ikhwatun tidak berarti bahwa
dalam pergaulannya, dalam interaksinya tidak terjadi perselisihan ataupun
pertikaian, Hal itu diisyaratkan dalam sambungan ayat tersebut
فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.
Kata “ashlihu” menunjukkan bahwa predikat
ikhwatun tidak menjamin sirnanya ikhtilaf, perbedaan faham dan pendapat. Tetapi
dengan ikhwatun terjamin bahwa setiap perselisihan dan perbedaan paham antar
sesama saudara dengan mudah dapat dihentikan, mudah dicegah, dapat segera
dihindari, karena kaum mukmin mempunyai ibu-bapak yang sama, orang tua sebagai
tempat mengembalikan setiap persoalan, orang tua yang berwibawa yang wajib
ditaati segala perintah dan anjurannya, yakni Alquran dan sunnah.
Di kalangan para sahabat Rasul pun
perbedaaan paham itu sudah terjadi. Namun perbedaaan itu bukan untuk dipelihara
dan diabadikan melainkan untuk diambilkan keputusan setelah dikembalikan kepada
Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian, yang meretakkan persatuan
dan memecahbelah ukhuwah itu bukan perbedaan paham atau pendapat, tapi ikut
campurnya hawa nafsu dan kepentingan2 pribadional. Karena hawa nafsu turut
serta bukan untuk mengembalikan kepada dalilnya yang sah, tapi turut serta
menyamarkan dalil yang sah tersebut. Bukan masalah fikih yang membawa umat
kepada pertengkaran, tapi nafsu yang membantu untuk mempertahankan.
Keadaan seperti ini akan terjadi dalam
persoalan jam’iyyah. Perbedaan pendapat dalam jam’iyyah bagaimana pun tajamnya
tidak akan membawa kepada perpecahan bila nafsu pribadi-pribadi itu dikekang
dan ditahan oleh kendali dalil yang sahih dan sharih, Alquran dan Sunnah.
Karena itu apabila Alquran dan Sunnah sudah tidak dijadikan kendali, maka
sehebat apapun qaidah jam’iyyah tidak akan mampu meredam perpecahan itu, karena
kehidupan jam’iyyah sudah dikendalikan oleh rasa hasud dan dengki. Merasa hina
karena dibelakang sebagai makmum, dan merasa mulia karena di depan sebagai
imam.
Maka demi terciptanya ukhuwah yang utuh dan
terpelihara dalam jam’iyyah, sudah seharusnya apabila setiap anggota dan aparat
pimpinan menjalankan keislaman serta mewujudkan akhlakul karimah, yang dapat
merekatkan kita sebagai ikhwatun dan ikhwanun, sehingga akan terwujud al-wihdah
(kesatuan) dalam aqidah (keyakinan), fikriyyah (pemikiran), qauliyyah (ucapan),
dan amaliah (perbuatan). Dengan ikhwatun dan ikhwanun senantiasa akan tercipta
satu suara, satu rasa, dan satu usaha. Untuk itu, marilah kita padukan suara,
rasa, dan usaha kita seirama dengan Quran dan sunnah.
Pertama, harus ada sikap tafahum,
yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya
kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing
akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan
dan menjatuhkan.
Kedua, harus ada semangat
untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada
pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu
yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para
pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan
bersih dari unsur korupsi.
Ketiga, harus ada upaya
saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting agar proses perbaikan dan perubahan yang
dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah
dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh
kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini
merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan
terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah
bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi
dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
“ Dan dialah orang-orang yang
beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
sayang.” (al-Balad: 17)
“Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
keempat adalah
dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf
ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan
perpecahan yang merugikan.
أي الجميع إخوة في الدين كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "المسلم أخو المسلم لا
يظلمه ولا
يسلمه" وفي الصحيح "والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه"
وفي الصحيح أيضا "إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك
بمثله" والأحاديث في هذا كثيرة وفي الصحيح "مثل المؤمنين في توادهم
وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد
بالحمى والسهر" وفي الصحيح أيضا "المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه
بعضا" وشبك بين أصابعه صلى الله عليه وسلم وقال أحمد حدثنا أحمد بن الحجاج
حدثنا عبدالله أخبرنا مصعب بن ثابت حدثني أبو حازم قال: سمعت سهل بن سعد الساعدي
رضي الله عنه يحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "إن المؤمن من أهل
الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد لما في
الرأس" تفرد به أحمد ولا بأس بإسناده وقوله تعالى "فأصلحوا بين
أخويكم" يعني الفئتين المقتتلتين "واتقوا الله" أي في جميع أموركم
"لعلكم ترحمون" وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
Paradigma
Perubahan
paradigma manajemen harus diawalli oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan
yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal
dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita
menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh
komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat
menghilangkan ketergantungan kepada
kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum
apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesugguhnya
Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung
dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d:
11)
tidak
akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh
sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak
luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama
kebarhasilan pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa
akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu
masyrakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai
modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan
dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan
berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
“ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya
kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung
kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” (
HR. Bukhari dan Muslim)
perubahan
paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau
jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan
kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana
semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
“dan orang-orang yang beriman,
lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa
lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
“sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff:4)