Imam Nasa’i; Figur Muhaddits Sejati
Oleh
: Agus Setiawan, Lc*
“Teladanilah
para tokoh, walaupun engkau sulit untuk menjadi seperti mereka, karena
meneladani orang yang mulia adalah sebuah kemenangan”
Dari
kata mutiara di atas, terpatri dalam diri insan muslim dan kaum akademis, bahwa
warisan sejarah adalah barang yang mahal. Mengambil hikmah keteladanan mereka
sebuah keniscayaan.
Tokoh
kali ini, sangat sarat dengan nilai kesungguhan, perjuangan demi sebuah
idealisme dakwah. Memelihara “warisan” nabi Saw, menuangkannya dalam karya
abadi dengan tinta emas, demi generasi mendatang.
Para
ulama sejawatnya menyanjung beliau, “Imam Nasa’i adalah figur muhaddits yang
tangguh, kuat, kaya hafalanya, rujukan para ulama dalam ilmu jarh wa ta’dil,
memilki karya-karya monumental”.
Namun
disini pembahas mohon maaf karena tulisan ini terlalu singkat untuk tokoh
sekaliber beliau. Semoga tulisan ini menjadi tangga pertama bagi rekan-rekan
untuk meniti, mendalami dan menyelami ketokohan beliau, imam Nasa’i.
Nasab
Sang Jenius
Ia
adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib al Khurasani, seorang yang bergelar al
hafidz. Imam besar pada masanya dan rujukan dalam ilmu jarh (kritik) dan ta’dil
(legitimasi) para periwayat hadits. Beliau dilahirkan pada tahun 215 hijriyah
di daerah Nasa’. Bukan dari kata nisa’a yang berarti perempuan, sebagaimana
yang diangkat oleh kaum feminis. Nasa’ sendiri adalah sebuah kota yang cukup
terkenal di Khurasan, Persia dan Sarkhas (Iran sekarang-red).
Tapak
Tilas Keilmuan
Beliau
mendengar hadits dari para ulama hadits di Khurasan (Iran), Hijaz (Saudi),
Irak, Mesir, Syam (Syiria) dan Jazirah (Saudi Arabia).
Beliau
orang terkenal sangat alim dan wara’. Piawai dalam ilmu hadits. Kuat kaya akan
hafalan. Sehingga imam Adz Dzahabi memuji beliau dengan sanjungan bahwa beliau
lebih kuat dan banyak hafalannya dari imam Muslim.
Beliau
wafat di Ramullah (Palestina) tahun 303H.
Histori
Kitab Sunan
Beliau
menyusun kitab Sunan Kubra. Pada awalnya kitab ini berisikan hadits shahih dan
juga dhaif. Kemudian beliau meringkas menjadi Sunan Shughra diberi nama “Al
Mujtaba”.
Kisah
peringasan sunan kubro sebagai berikut; Ibnul Atsir menceritakan bahwa ketika
imam Nasa’i merampungkan penulisan sunan kubro. Beberapa pangeran menanyakan
isi kitab tersebut : “Apakah isinya hadits shahih semuanya?” Ia menjawab,
“Tidak”. “Kalau demikian, ringkaslah kitab tersebut dengan menyebutkan
hadits-hadits yang shahih saja!”. Lalu imam Nasa’i pun meringkasnya. Dan
dinamai dengan “Al mujtaba”.
Karena
itu para ulama menegaskan tidak boleh sembarang mengamalkan hadits-hadits yang
ada di kitab sunan kubro, tanpa diteliti terlebih dahulu keotentikannya. Adapun
kitab “Al mujtaba” atau sunan shugra, boleh mengamalkan hadits-hadits yang ada
tanpa perlu diteliti lebih lanjut.
Kitab
berada di bawah kitab shahih Buhari dan Muslim. Hal ini disebabkan, kitab ini
merupakan kitab hadits dalam gaya penulisan sunan yang paling sedikit riwayat
lemahnya. Imam Jalaludin Suyuti telah mensyarah, memperkaya penjelasan dalam
kitab ringkas yang beliau beri nama “Zahru Raba ‘Ala Mujtaba”. Demikian pula
Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi As Sindi Al Hanafi (wafat 1138H). Beliau
mencukupkan hal-hal yang diperlukan pembaca umum dan pengajar dengan memberi
kejelasan makna dan ketepatan kata.
Selisih
Pendapat
Imam
Adz Dzahabi ketika menulis biografi imam Nasa’i dam kitab monumentalnya “Siar
A’laamin Nubalaa” menegaskan; apa yang disebutkan oleh Ibnul Atsir, bahwa kitab
al mujtaba adalah karya dan ringkasan imam Nasa’i adalah tidak tepat. Yang
sebenarnya adalah imam Ibnu Sunni, murid imam Nasa’i.
Hal
ini ditegaskan kembali oleh imam Dzahabi dalam kitabnya “Tadzkiro Huffadz”
ketika menjelaskan Ibnu Sunni; “Ia adalah pengarang kitab “amal yaumi wa
lailah”, yang meriwayatkan hadits-hadits imam Nasa’i, komit terhadap agama,
baik, terpercaya, sampai Dzahabi mengatakan, ia meringkas sunan dan diberi
judul al mujtaba.
Lebih
“Kuat” dari Abu Daud
Sebagian
ulama ada yang condong, dan berpendapat bahwa kitab imam Nasai lebih “kuat” dan
shahih ketimbang kitab Abu Daud. Diantaranya adalah imam Abu Ali Naisuburi, Abu
Ahmad bin ‘Adi, Daruqthni, Ibnu Mandih, Abdul Ghani bin Said. Kesemuanya
men-generalisasi bahwa kitab Nasai lebih shahih. Tanpa merinci apakah benar
keseluruhan isi –hadits- lebih kuat para perawinya ketimbang sunan Abu Daud?
Karena
itu sebagian ulama ada yang mengkategorikan kitab imam Nasa’i sebagai kitab
shahih. Artinya keseluruhan hadits yang terkandung di dalamnya adalah hadits
shahih. Diantara para ulama tersebut adalah : Al Khatib As Silafi, imam Hakim
(sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu Hajar). Bahkan Ibnu Mandih mengatakan :
“Yang memuat hadits-hadits shahih dalam kitabnya ada empat; Imam Bukhari, imam
Muslim, imam Abu Daud dan imam nasa’i”. Termasuk yang berpendapat ini adalah
Abu Ali bin Sakan.
Memperselisihkan
Kriteria Perawi
Al
Hafidz Dzahabi mencatat dalam kitab karyanya “At Tabshirah”; Ibnu Thahir
bercerita : “ Pernah kutanyakan kepada Sa’ad bin Ali Az Zinjani tentang
seseorang yang diterima oleh Sa’ad periwayatan haditsnya. Mengapa engkau
menyetujuinya padahal imam Nasa’i menganggapnya lemah? Ia menjawab : “Wahai
anakku ketahuilah bahwa imam Nasai’ memiliki kriteria rawi yang lebih ketat
ketimbang imam Bukhari dan Muslim”.
Akan
tetapi pendapat tersebut tidak tepat. Karena imam Ibnu Salah dalam kitab ulumul
haditsnya tidak pernah menyebutkan hal itu. Demikian pula imam Zainudin al
Iraqi sama sekali tidak pernah menyebutkan dalam kitab “At Tabshirah”.
Bahkan
dinukil dari imam Zainudin Iraqi dalam kitab At Tadzkiroh dari Ibnu Mandih,
bahwa kriteria rawi menurut imam Nasai adalah “Selama ulama belum sepakat untuk
menolaknya, maka riwayat orang tersebut dapat diterima”.
Dalam
kata pengantar ringkasan kitab Sunan, imam Abu Daud menuliskan, “……….Imam
Nasa’i berkomentar; Seorang rawi tidak akan ditinggalkan riwayatnya (tidak
diambil) kecuali seluruh ulama sepakat untuk mendhaifkannya”.
Ibnu
Hajar menambahi, bahwa dari ungkapan imam Nasa’i jelas kalau kriteria beliau
terhadap perawi seolah-olah demikian “luas” cakupannya. Padahal tidak demikian.
Betapa banyak perawi yang dikutip haditsnya oleh imam Abu Daud dan Tirmidzi
namun tidak dicantumkan hadits-hadits mereka dalam kitab sunan.
Daftar
Isi Kitab Sunan Nasa’i
(Cetakan
Mustafa al Halabi 1964 M/1383H)
1.
Ath thaharah
2.
Al miyah
3.
Al haidh
4.
Al ghuslu wa tayammum
5.
Ash shalat
6.
Al mawaqiit
7.
Al adzan
8.
Al masajid
9.
Al qiblah
10.
Al imamah
11.
Iftitah shalat
12.
At tatbiiq
13.
As sahwu
14.
Al jumu’at
15.
Taqsir shalat fi safar
16.
Al kusuf
17.
Al istisqa
18.
Shalat khauf
19.
Shalat al ‘idain
20.
Qiyam lail wa tathawwu’ nahar
21.
Al janaiz
22.
Ash shiyam
23.
Az zakat
24.
Manasik haji
25.
Al jihad
26.
An nikah
27.
Ath thalaq
28.
Al khail
29.
Al ahbas
30.
Al washaya
31.
An nihl
32.
Al hibah
33.
Ar ruqba
34.
Al ‘umri
35.
Al aimaan wan nudzur wal muzara’ah
36.
‘Isyratun nisa
37.
Tahrim dam
38.
Qasm fai
39.
Al bai’at
40.
Al aqiqah
41.
Al far’u wal ‘atirah
42.
Ash shaid wadz dzabaih
43.
Adh dhahaya
44.
Al buyu’
45.
Al qosamah
46.
Qot’u sariq
47.
Al iman wa syara’ihu
48.
Az zinah
49.
Aadab qodha
50
.Al isti’adzah
51.
Al asyribah
Bagi
yang mencermati kitab sunan Nasa’i akan mendapatkan bahwa beliau mengumpulkan
dalam kitabnya ini hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum. Karenanya kitab
sunan tidak mencantumkan hadits-hadits yang berkaitan dengan tafsir, akhbar
(berita sebelum nubuwwah), manaqib (derajat para sahabat), maupun mawa’idz
(wejangan-wejangan).
Rahasianya
adalah karena beliau memilih hadits-hadits tadi terkhusus masalah hukum. Yaitu
dari kitabnya “As Sunan Kubro”.
Kalau
kita ingin mengklasifikasikan isi kitab tersebut adalah sebagaimana berikut ini
:
1.
Dari kitab pertama sampai kitab ke dua puluh satu adalah tentang thaharah dan
shalat. Namun beliau lebih memperbanyak masalah shalat.
2.
Beliau mengedepankan kitab shaum dari kitab zakat.
3.
Beliau memberi jarak antara pembahasan “pembagian rampasan perang” dengan
“jihad”.
4.
Beliau juga memisahkan antara pembahasan al khail dengan jihad.
5.
Imam nasai membuat kitab khusus tentang wakaf (ahbas), juga kitab wasiat dengan
tersendiri, pula kitab an nihl (pemberian untuk anak), kitab hibah, tanpa ada
kitab faraidh (pembagian waris).
6.
Beliau memisah antar kitab asyribah dengan kitabshaid dan dzabaih. Juga beliau
memisahkan kitab-kitab tadi dengan kitab dhahaya
7.
Beliau mengakhirkan kitab iman.
8.
Kitab iman dengan kitab isti’adzah sajalah yang tidak membahas tentang hukum.
Wallahu
A’lam
dikutip dari http://persis.or.id