Al Qur'an Dijadikan Perhiasan Oleh : Ustadz Abu Hasan
Al Qur'an Dijadikan Perhiasan Oleh : Ustadz Abu Hasan
Allah menurunkan Al Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Agar tujuan
ini bisa terealisasi, Al Qur’an tidak bisa hanya sekedar dijadikan pajangan.
Sayangnya justru perbuatan ini yang banyak dilakukan manusia. Salah satunya
melalui apa yang dinamakan seni kaligrafi.
Bila kita bertandang ke rumah saudara ataupun kenalan, sering kita dapati
kaligrafi yang bertuliskan ayat-ayat Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah
ataupun Al-Asmaul Husna. Kaligrafi yang dibuat seindah mungkin ini, sehingga
kadang sulit dibaca, biasanya digantung di dinding atau menjadi pajangan di
atas meja dan almari, apakah berbentuk ukiran, pahatan ataupun lukisan. Tidak
terbatas hanya dalam rumah, kaligrafi juga kita dapatkan sebagai penghias
masjid-masjid, tempat pertemuan kaum muslimin, dan sebagainya. Bahkan penulisan
kaligrafi ayat-ayat Al Qur’an dijadikan sebagai ajang lomba dalam MTQ dan
semisalnya.
Saking lazimnya, banyak di antara kaum muslimin yang merasa belum sreg bila
tidak memajang kaligrafi dalam rumah ataupun majelis mereka. Seolah hal ini
sebagai ciri keislaman yang membedakan dari rumah dan majelis non muslim.
Bahkan mungkin ada di antara mereka yang merasa bahwa perbuatan seperti ini
merupakan satu bentuk ibadah kepada Allah I.
Terhadap fenomena yang ada ini, kita katakan kepada saudara kita kaum muslimin:
Allah I telah menyempurnakan agama-Nya, sebagaimana Dia nyatakan dalam
Tanzil-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah
Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian”.
(Al-Maidah: 3)
Karena agama ini telah sempurna, maka tidak butuh lagi terhadap penambahan dan
tidak pula pengurangan. Rasulullah r sebagai pengemban risalah dari Allah telah
amanah dalam menyampaikan seluruh risalah Islam ini, tanpa kecuali.
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Nabi r terus menerus menegakkan perintah
Allah, orang yang ingin memalingkan (beliau) tidak dapat memalingkan. Beliau
juga menyeru kepada Allah tanpa ada seorang pun yang dapat merintangi, sampai
akhirnya menjadi terang benderang bumi ini dengan risalah yang beliau bawa
setelah sebelumnya dalam keadaan gelap gulita. Menjadi jinaklah (bersatu)
hati-hati manusia setelah sebelumnya bercerai berai. Dan berjalanlah dakwah
beliau seperti perjalanan mentari di penjuru langit hingga sampailah agamanya
sebagaimana sampainya malam dan siang…”. (Miftah Daris Sa’adah, 1/105)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab t berkata dalam kitabnya Al-Ushuluts
Tsalatsah mengatakan: “Tidak ada satu kebaikan pun melainkan telah Rasulullah r
tunjukkan kepada umatnya dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali telah beliau
peringatkan umat darinya.”
Menjadikan Al Qur’an dan hadits nabawi sebagai hiasan dalam bentuk kaligrafi,
sama sekali tidak ada contohnya dari Rasulullah r, tidak pernah dikenal dan
dilakukan oleh para shahabat beliau dan tidak pula oleh orang-orang sesudah
mereka dari kalangan para imam yang diberi petunjuk, semoga Allah meridhai dan
merahmati mereka semua. Seandainya perbuatan tersebut baik, pasti Rasulullah r
telah menganjurkannya dan para shahabat, sebagai manusia yang paling
bersemangat dalam melakukan kebaikan, pasti telah mendahului kita dalam berbuat
demikian.
Untuk memperjelas permasalahan ini, kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca
fatwa ulama berikut ini:
Allah I telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam
ayat-ayat berikut ini:
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat (pelajaran)
dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada,
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh (obat) dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu tidaklah menambah bagi
orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
Allah pun mengutus Nabi-Nya r untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci
hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai
bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau menjelaskan kepada
manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka mau berfikir.”
(An-Nahl: 44)
Allah I memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya r pun
menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para
shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada
para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang
kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam. Dari seluruh perjalanan
hidup beliau r, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al
Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada
lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di
tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk
(mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan,
menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya.
Sepeninggal beliau r, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan petunjuk
beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam setelah mereka yang
dikabarkan oleh Rasulullah r sebagai sebaik-baik generasi. Sama sekali tidak
pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari Al Qur’an, hadits-hadits
nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada lembaran, piringan ataupun pada kain
untuk digantung sebagai hiasan di dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai
peringatan. Padahal mereka adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling
bersemangat terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka
telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari
ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah
perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah r, para shahabat dan para imam
salaf g.
Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak
diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja,
terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan
Kitabullah dan juga Sunnah Nabi r yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan
pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun
semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah
keterangannya dari Sunnah Nabi r. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan
muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya,
yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai
pajangan.
Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini
merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari
kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk
membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang
memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘am
bish-shawab.
Demikian ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat Al-Buhuts wal
Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu
Baz t dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq ’Afifi.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam salah satu khutbahnya di
Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah
ini. Di antaranya beliau katakan:
“Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al
Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut.
Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini
adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih.
Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita
katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat
Rasulullah r dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh
tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al
Qur’an.
Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan?
Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal
tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut
seperti membaca ayat Kursi1 ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan
dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari2.
Sesungguhnya cara untuk ber-tabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya dengan
sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan hati dan
mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah I berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa
yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Baqarah:
121)
Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan
menggantungnya.
Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu
menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata dalam
prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan mereka yang
ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya untuk membaca tulisan
tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang membacanya namun tidak memikirkan
apa yang terkandung di dalamnya.
Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar
menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al
Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk
keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya
sekedar dijadikan hiasan.
Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an,
terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia, red), bahkan terkadang
ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik dan nyanyian yang
haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan pelecehan terhadap Kitabullah
karena digantungkan di atas kepala hadirin yang sedang tenggelam dalam
kemaksiatan kepada Allah.
Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan kaligrafi yang
ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu tidak pantas untuk
dilakukan.
Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang
samar/ tidak jelas sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya,
karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk
dijadikan hiasan dan lukisan/ ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian
hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan
sebagai bahan permainan dan olok-olok.
Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai tujuan
diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit yang ada di
dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah ia
diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari seni lukis, ukir dan pahat.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.“
Demikian fatwa beliau secara ringkas. Semoga kita diberi taufik untuk senantiasa
berpegang dengan al-haq.