Kedudukan Waris Beda Agama

Kedudukan Waris Beda Agama
Posted by pwkpersis under Fiqh | Tags: Syari'ah |


A. Pendahuluan
Hubungan nasab pada setiap kehidupan, merupakan mata rantai kelanjutan generasi dan keturunan yang satu terhadap genersi yang akan datang. Kelanjutan generasi dan keturunan tersebut memerlukan kesiapan dan perbekalan, baik materi maupun immateri, seperti ilmu pengetahuan dan akhlak mulia, sehingga mampu esksis pada zaman generasi itu berada. Kemampuan kemauan memiliki harta bekal yang memadai adalah selalu dicita-citakan setiap orang dan hiasan hidup manusia karena generasi yang cukup memiliki perbekalan hidup lebih baik dari yang meminta-minta, sebagaimana disebutkan Alquran, al-Nisa: 9, “Dan harus takut orang-orang yang seandainya meninggalkan keturunan (anak-anak) di belakangnya lemah. Maka bertakwalah kepada Allah dan katakanlah kepada meraka perkataan yang benar.” Dalam hadis disebutkan, ketika Sa’ad bin Abi Waqash akan mensadaqahkan separo harta dan ditolak oleh Nabi, saw dengan alasan, “Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warsimu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan pada, meminta-minta pada manusia. “ (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, kepemilikan atau pindahnya hak milik dalam Islam sudah diatur sedemikain rupa, mungkin dengan melalui kewarisan, jual-beli, hadiyah, hibbah, wakaf, sadaqah, jariyah, wasiat, dan cara-cara lain yang halal, seperti pinjaman dan gadai, walaupun yang terakhir ini bersifat sementara. Di luar itu, akan menjadi pertanyaan besar. Karena itu, pencurian, ghasab, dan risywah dilarang. Kepemilikan atau pindah hak milik lewat warisan merupakan bagian penting. Hubungan kewarisan antar keturunan ternyata tidak mudah dan tidak begitu saja dapat dilakukan, baik yang berdasarkan kebudayaan tertentu maupun agama. Di kalangan Hindu (Mazhab Bali khususnya), anak perempuan tidak menerima warisan, sebagaimana masyarakat Barat (Inggris) beberapa waktu lalu, sementara di masyarakat “Padang-Muslim”, justru laki-laki tidak menerimanya. Masyarakat Jawa, lain lagi. Ahli waris dibagi rata, gono-gini, dengan tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan. Demikianlah kewarisan dengan standar kebudayaan dan paradigma antroposentris (manusia sebagai pusat segalanya).

Kasus mendesak yang menimpa saat ini ialah banyaknya orang muslim yang orang tuanya atau kerabatnya masih kafir, bahkan yang tinggal di negara kafir. Ketika mereka meninggal, secara undang-undang anaknya berhak menerima warisan orang tua atau kerabatnya, sementara dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara eksplisit disebukan, “La yaritsu al-Muslimu al-kafira wala al-kafiru al-muslima”, tidak mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir. Pada hadis lainnya disebutkan,“La yatawartsu ahlu millatain syatta, tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah). Hadis-hadis inilah yang menjadi keyakinan jumhur al-ulama, mayoritas ulama, bahkan sudah diberlakukan sejak masa Khulafa al-Rasyidin dan menjadi ageman para Imam yang empat sampai sekarang. Walaupun demikian, para sahabat di antaranya Umar dari Khulafa al-Rasyidin, dalam kasus-kasus tertentu berbeda dengan kebanyakan waktu itu, yaitu orang Muslim menerima waris dari keluarganya yang kafir, walaupun masih diperselisihkan.

Seseorang yang baru masuk Islam yang disebut muallaf banyak yang hidupnya “pas-pasan”, padahal harta orang tuanya atau saudaranya yang kafir itu cukup banyak. Di satu sisi, ia amat memerlukan uang itu, di sisi lain Nabi mengingatkan agar tidak diterima. Lalu, persoalan lainnya ialah bila uang itu tidak diambil anaknya, negara akan memberikannya kepada lembaga-lembaga keagamaan, LSM, mungkin misionaris, sebagai dana “pemurtadan umat”.

Persoalannya adalah bagaimana kedudukan hadis yang melarang orang Islam menerima waris dari orang kafir atau sebaliknya, dikaitkan dengan kemaslahatan ahli waris yang muslim dan hifzh al-din wa al-mal wa ummah Islamiyah ke depan? Bagaimana metode analisis dalalah lafzhiyah dari nash-nash al-syari’yah ta’amuliyah dapat ditafsirkan?

B. Kewarisan dalam Islam

1. Prinsip-prinsp Hukum Islam

a. Umum

Hukum Islam memiliki prinsip yang amat jelas, sehingga tampak syariah Allah dapat dilaksanakan dan memenuhi kemaslahan serta menolak kerusakan. Prinsip hukum Islam adalah sebagai berikut : 1). Tauhid, 2). Segala sesuatu milik Allah, 3). Adalah, 4). Amanah, 5). Musyawarah, 6). Maslahah fi al-dunya wa al-akhirah, 7). Wasathiyah, 8). tasamuh, 9). dan amar ma’ruf nahyi al-munkar. Hukum Islam, termasuk di dalamnya kewarisan Islam, harus sesuai dengan prinsip-prinsip ini. Tidak ada hukum yang paling tinggi kecuali Syariah Allah. Ketika manusia berebut, dengan budayanya sendiri-sendiri, yaitu ada pihak laki-laki saja yang diuntungkan atau sebaliknya, yaitu perempuan yang diuntungkan, maka Islam justru melakukan yang terbaik; lelaki atau perempuan dapat bagian dengan proporsi yang berbeda.

b. Prinsip Kewarisan

Sementara itu, prinsip kewarisan tidak banyak berbeda dengan di atas, hanya ditambah dengan poin berikut: 1). Dzawil Furud dan dzawil arham, 2). Prinsip keadilan, 3). Amanah, 4). Perbedaan pembagian anak laki-laki dan perempuan.

2. Kewarisan dalam Alquran dan hadis

Sebagaimana diketahui dalam hukum waris Islam sudah ditentukan pokok-pokok pelaksanaannya, bahkan celaan terhadap pelanggarnya, seperti disebutkan dalam Alquran surat al-Nisa : 11-14, al-Nisa 176, dan diisyaratkan pada surat al-Anfal : 72-75. Dalam Alquran sendiri ada sekitar 24 kata warits dalam Alquran dengan berbagai derivasinya serta arti yang berbeda yang tidak mesti waris itu berupa harta. Selanjutnya, hadis-hadis Nabi banyak membicarakan tentang kewarisan ini. Namun demikian, perkembangan pemikiran dalam kewarisan, dalam mamaknai hukum waris sudah berkembang pada masa awal Islam.

Sejak zaman sahabat ada perkembangan pemikiran dalam memahami keterangan yang berakitan dengan pembagian waris, khususnya ketika hal-hal yang pelik terjadi, maka pengembangan “ijtihad” dalam hal ini sudah terjadi sejak masa sahabat, seperti munculnya al-Radd dan al-‘aul. Artinya, walaupun pembagian hukum waris sudah qathi dengan angka-angka yang eksplisit dalam hal tertentu, diperlukan analisis lagi, walaupun jelas tidak keluar dari al-qawa’id al-syar’iyah, yaitu berupa kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah dalam istinbath dan istidlal hukum Islam.

Dalam Alquran jelas bahwa ketentuan waris merupakan wasiyah Allah yang dalam ayat-ayat tersebut disebut sebagai ……..faridhatan minam Allah dan…..tilka Hudud Allah. Perkataan washiyyah, faridhah dan hudud, tentu menunjukkan kepada kewajiban, yang pasti harus dilaksanakan. Artinya, setiap ahli waris tidak ada seorang pun yang dirugikan, berdasarkan ketentuan itu. Dengan syarat prinsip keadilan dan amanah selalu dipegang teguh.

Ketentuan waris dalam Islam sudah terkonsepsi sedemikian rupa, sehingga tidak perlu diperdebatkan, bahkan walaupun secara lahiriyah, keturunan dan persaudaran, misalnya, seseorang berhak mendapat warisan, tetapi dalam kasus tertentu ter-mahjub disebakan oleh adanya orang yang lebih berhak dan atau ada sifat tertentu yang menghalanginya, seperti beda agama atau pembunuhan. Akan tetapi, penerima warisan yang ter-hijab dalam kasus perbedaan agama, ternyata ada pemaknaan lain. Hadis tentang hal tersebut dimaknai, tidak sebagaimana lahiriyahnya ketika ditenggarai atau malah diyakini ada “bahaya tersembunyi” dan dengan menolak waris itu akan keluar dari al-maslahah al-ammah. Kewarisann di belahan dunia manapun, bukan hanya diatur secara agama atau adat kebiasaan masyarakat, tetapi oleh undang-undang negara. Maka jika secara genealogi dan negara kewarisan hak orang itu, padahal ia mungkin tidak menerimanya karena ada kendala dari sistem waris Islam. Karena dengan tidak diterimanya harta waris itu akan membahayakan agama, harta, dan umatnya, apa yang harus dilakukan oleh para mujtahid? Kejelian mujtahid dalam menggunakan metode istinbath amat diperlukan, sehingga ajaran ini selaras dengan maqashid al-syariah al-ammah yang tentu tidak melanggar ushul al-syariah. Lalu, metode apa yang digunakan dalam istinbath hukum seperti kasus ini?

C. Kerangka Berfikir

Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam al-ushul a-syar’iyah ada yang disebut dengan sumber al-muttafaq alaih atau mujma ‘alaih, seperti Alquran dan Sunnah ada yang mukhtalaf alaih, yaitu dalam menggunakan metode ijtihad, seperti qiyas, maslahah mursalah, istihsan, syar’un man qablana, sadd al-dzari’ah, dan al-urf. Prinsip dasar yang digunakan dalam menetapkan hukum ini ialah, amanah, ‘adalah, maslahah ammah, dan tidak melanggar prinsip tauhid. Dasar-dasar teori (usus al-nazhariiyah) inilah yang digunakan atau metode istinbath yang diimplementasikan oleh ulama sejak awal.

Memang taghayyur al-fatwa atau al-ahkam mungkin terjadi, bahkan sekaligus ketika “illah syariyah” yang berbeda muncul. Oleh karena itu, Imam Ibn Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil alamin membuat kaedah, “Taghayyur al-fatwa bi taghayyur al-azminah, wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-‘awaid’. Artinya, perubahan fatwa dengan perubahan zaman dan tempat, kedaan-keadaan, dan kebiaysaan-kebiaasaan”.

Penafsiran teks-teks keagamaan sudah terjadi di kalangan para sahabat, sebagaimana diriwayatkan tentang perintah Nabi saw agar para sahabat tidak salat asar kecuali di Bani Quraizhah. Sebagaian sahabat mempercepat perjalannya, sehingga sampai ke Bani Quraizhah lebih awal dan masih ada waktu untuk salat Asar, sementara yang lainnya mengartikan secara tekstual, sehingga salat untuk Asar di luar waktu. Maka, pendekatan pemahaman suatu teks sejak zaman Nabi sudah dilakukan, seperti apa yang disebut tekstual dan ta’wil (kontekstual), bahkan Rasul pernah berdoa pada Ibn Abbas, “Allahumma faqqihu fi al-din wa allkimu al-ta’wila “ (HR. Bukhari).

Maka tidak heran bila di kalangan sahabat terdahulu, seperti Umar, sudah mempraktekan makna kontekstual, terutama dalam bidang muamalah; misalnya, belau tidak memberikan harta zakat terhadap kaum muallaf dan tidak memberikan harta fa’i kepada tentara. Tidak ada sahabat yang menentang waktu itu. Dalam bidang ta’abbudi, bahkan pernah terjadi Nabi saw. ketika sudah gemuk duduk istirahah terlebih dahulu, sebelum bangkit pada rakaat pertama dan rakaat ketiga. Duduk (julus) istirahah ini sebagai konteks beliau yang berat untuk langsung berdiri. Orang yang masih sehat dan tidak ada gangguan fisik tidak perlu duduk sebelum bangkit pada rakaat salat yang ganjil-ganjil itu.

Dalam kasus kewarisan yang tidak melanggar ushul al-syari’ah dapat dilakukan makna kontekstual pula, sehubungan dengan ada bahaya tertentu bila kewarisan tidak diterima. Salah satu metode, yaitu Istihsan dapat diberlakukan pada hal ini. Sebagai bandingannya dalam dilarangnya menjual, mewariskan, dan menghibahkan wakaf, tetapi ketika ada yang maslahat ammah yang lebih besar bisa ditukar guling. Tindakan ini, tampaknya seperti melanggar nash syariah, tetapi sebenarnya tidak karena tidak menyalahgunakan harta wakaf tersebut. Maka ketika seorang muslimin dilarang menerima waris dari kafir akan membahayakan dirinya dan membahayakan agama dengan pemurtadan, maka dapat dipertimbangkan untuk diambilnya dan dapat dianalogikan kepada kasus tadi. Memelihara agama dan diri harta termasuk bagian dari al-dharuriyat al-khamsah.

Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan pula dalam melaksanakan prinsip hukum Islam, terutama berkaitan dengan kewarisan. Menurut al-Qardhawi (2003: 677), “Saya mentarjih pedapat yang membolehkan orang Muslim menerima dari kafir dengan alasan sebagai berikut: 1). Islam tidak boleh menghalangi harta dapat digunakan untuk membela tauhid, ketaatan, dan menolong agama Allah. 3). Asal dalam penggunaan harta untuk ketaatan kepada Allah, bukan kemaksiatan. 4). Orang yang paling utama menggunakan harta adalah orang beriman. Bila peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara menetapkan terhadap kepemilikan harta waris, kita tidak layak untuk menolak dan membiarkannya orang kafir bersenang-senang menggunakannya, padahal akan membahayakan umat Islam”.

D. Waris Beda Agama

Waris beda agama adalah praktek waris yang amat pelik, di zaman modern, lebih-lebih ketika terjadi yang berhak menerima warisan adalah Muslim dari orang tua atau kerabat yang masih kafir, seperti banyak kasus di beberapa tempat di dunia, termasuk di Indonesia. Keterangan yang menapikan kewarisan itu, dengan menggunakan huruf La nafyiyah yang diartikan tidak, bukan la nahyi, larangan. Huruf La nafiyah ini mengandung faidah “tidak” dan dengan kata tidak ini, tidak dilakukan suatu tindakan hukum. Sabda Nabi yang berkaitan dengan menapikan waris mewarisi antar agama ialah: (1). Hadis yang diterima dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw. “La yaritsu al-Muslim al-kafira wala alk-kafir al-muslima”, tidak mewarisi orang kafir kepada muslim, demikian orang Muslim kepada kafir (Hr. Bukhari dan Muslim). (2). Hadis lain dari Amr ni Syaib dari kakeknya Abdullah bin Amr dari Nabi saw,“La yatawaratsu ahlu millatain syatta, tidak waris mewarisi penganut dua agama yang berbeda”, (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah).

Dua hadis inilah yang menjadi standar kewarisan di kalangan umat Islam yang dianut oleh para ulama, sejak sahabat, ulama salaf dan khalaf. Namun demikian, tidak menjadi ijma, karena ada beberapa sahabat tidak menyepakatinya kafir di dalam hadis itu masih umum dan memerlukan khas (pengkhususnya) atau mungkin taqyid-nya, bila dianggap mutlaq. Maka kafir di situ kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Umar dari kalangan al-Khulafa al-Rasyidin, Muadz, Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadis yang diriwayatkan di atas, bahkan sebaliknya dalam kasus tertentu, sebagaimana diriwayatkan, “Mereka mengambil waris dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam (al-Mughni IX: 154), sebagai dikutip al-Qardhawi (2003: III, 675).

Dari kalangan ulama muta’akhirin ternyata sepakat dengan pendapat ulama di atas, tersebut, seperti dilkutip Ibn Qayyim dari Ibn Taimiyah dan dikutip lagi oleh al-Qardhawi (2003, III: 676), sebagai berikut: “Adapun kewarsian Muslim dari kafir berbeda pendapat di kalngan salaf. Kebanyakan dari kalangan mereka mengambil pendapat yang menyatakan bahwa ia tidak memperoleh waris, sebagaimana orang kafir tidak memperoleh waris dari Muslim. Pendapat ini dikenal di kalangan ulama yang empat dan para pengikutnya. Sebagian kelompok mengatakan, ‘Bahkan orang Muslim menerima waris dari kafir, tidak sebaliknya. Ini adalah pendapat Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan. Muhammad bin al-Hanafiyah (putra Ali ra dari istri selain Fatimah), dan Muhammad bin Ali bin al-Husein (Abu Ja’far al-Baqir), Said bin al-Musayyab, Masruq bin Ajda, Abdullah bin Mughaffal, al-Syu’bi, al-Nakha’i, Yahya bin Ya’mur, dan Ishaq ibn Rahawaih. Mereka katakan, ‘Kita memperoleh warisan dari mereka dan mereka tidak memperolehnya dari kita, sebagaimana kita bisa menikahi perempuan-perempuan mereka, tetapi tidak sebaliknya”. Namun, kesahihan riwayat ini diragukan keabsahannya oleh Ibn Qudamah (VI: 294). Artinya, di kalangan ulama hanbaliyah pun ada perbedaan tetang ketentuan waris ini.

Memang, keberadaan penolakan waris-mewarisi antara Muslim dan kafir itu adalah dua hadis di atas itu, sehingga menjadi dasar pula penolakan untuk menerima waris dari kaum zindiq, munafiq, dan murtad. Padahal, menurut Ibn Taimiyah, “Dalam sunnah ‘mutawatir’, jelas sekali sesungguhnya Nabi saw. menetapkan mereka dalam hukum lahiriyah sebagaimana kepada orang Islam, yaitu saling waris mewarisi. Abdullah bin Ubay meninggal, tetapi anaknya mengambil waris, juga yang lainnya dari kalangan munafik……………….. Orang Murtad pun menurut Ali dan Ibn Mas’ud, hartanya bagi ahli waris dari kaum Muslimin……………., sementara Ahli Dzimmah, kalau membunuh dibunuh lagi pembunuhnuya, walau orang Islam dan kafir harbi dibunuh lagi”. Di sisi lain Umat Islam harus menempatkan diri yang tertinggi, sebagaimana Nabi berssabda, “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih”, Islam itu tinggi dan tidak adan yang lebih tinggi daripadanya”.Keterangan lain menyebutkan dari Muadz bin Jabal, “Al-Islamu yazidu wala yanqushu”. (HR. Abu al-Aswad). Kemudian Muadz menyatakan, wa li annana nankihu nisa’ahum wala yankihuna nisa’ana fakadzalika naritsuhum wa la yaritsunana”. (Ibn Qudamah, VI: 294)

Problem yang dirasakan dengan dua hadis di atas ialah sebagai berikut: (1). Kerugian harta yang mestinya diambil umat Islam bisa jatuh kepada yang lain, bahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan non-Muslim yang selanjutnya digunakan untuik memurtadkan umat Islam.(2). Banyak muallaf yang sengsara atau hidup pas-pasan, padahal keluarganya berada. (3). Dimungkinkan seseorang yang tidak masuk Islam karena takut tidak kebagian warisan orang tuanya yang kaya itu. (4). Penguasaan harta dari non-Muslim, dibenarkan oleh perundang-undangan negara sudah diatur di negara-negara modern sekarang. Mungkin hibvah, wasiyat, hadiyah, dari mereka atau malah jual beli. Adalah kerugian bila harta itu dibiarkan tak ada “pemiliknya”.

Dalam persoalan ini, maka perkataan, la yaristu al-Muslim al-kafira wala al-kafir al-Muslima yang dimasud adalah kafir harbi, sementara dari kafir dzimmi tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiyah. Bila memang masih keberatan secara syar’i dan dianggap melanggar ushul a-shariah, maka mungkin harta diambil jalan tawassuth (moderat), seperti dikemukakan oleh al-Qardhawi, yaitu “Ahli waris mengambil harta tersebut, sesuai dengan peraturan undang-undang di negara tersebut, tetapi untuk kemaslahatan umat, dakwah, dan pendidikan Islam, sementara yang bersangkutan dengan pribadinya mengambil untuk sekedar menutupi kebutuhan pokok hidupnya daripada harus menta-minta (tasawwul) kemana-mana, apalagi dengan membawa nama muallaf.”

Metode yang digunakan bisa dengan model takhshish, dari hadis-hadis yang masih bersifat amm atau teori maslahah tadi dengan alasan bahwa kafirnya kafir dzimmi seperti diusulkan al-Qardhawi. Namun, penulis berbeda dalam menggunakan metode, yaitu metode istihsan yang paling pas, yaitu mengambil cara yang paling baik yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok Alquran dan Sunnah, seperti pada kasus “tukar guling wakaf” karena ada yang lebih baik atau seperti kasus mengembalikan Ka’bah ke tempat semula yang tidak sempat dilakukan Nabi”.

E. Penutup

Kewarisan yang merupakan salah satu cara perpindahan kepemelikan antara satu budaya, keyakinan, dan agama memiliki kekhasan masing-masing. Islam memberikan cara terbaik dan adil dalam menetapkan waris dan secara eksplisit, jelas, sudah diterangkan bagiaannya msing-masing. Namun demikian, perhitungan adakalannya memerlukan pengembangan pem,kanaan yang disebabkan oleh perhitungan yang harus dilengkapkan, seperti pada kasus ‘aul dan radd

Kasus ini bukan satu-satunyan yang terrjadi, bahkan pada zaman sahabat sekalipun yang saat itu.masih dekat dengan masa Rasulullah. Umpamanya, diambilnya harta waris dari orang tua yang masih kafir, padahal hadis yang melarangnya cukup jelas. Lalu, dimaknai oleh sebagian penafsir maka metode yang digunalkan adalah amm dan khas, sementara penulis menggunakan pndekatan istihsan bila ditenggarai bahwa harta yang menjadi haknya secara undang-undang. Maka ahli waris boleh menerima warisan dari orang tua atau saudaranya yang kafir.

Pendapat yang paling utama sebagai ikhtiyath ialah ahli waris mengambilnya untuk kepentingan dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat Islam, sementara orang yang bersangkutan hanya mengambil alakadarnya untuk bekal hidupnya agar tidak minta kemana-mana dengan alasan muallaf..

Wallhu A’lam bi shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Ibn Qudamah, Al-Mughni, Maktab al-Riyadh, Riyadh
Al-Qardhawi, Yusuf, Fatawa Mu’ashirah, Dar al-Qalam, Cairo: 2003.

Pengunjung