GHIBAH, BUHTAN, DAN NASIHAT



GHIBAH, BUHTAN, DAN NASIHAT
 

...وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ...
….Dan janganlah sebagian dari kamu Ghibah kepada sebagian yang lain, sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya… Q.S. Al Hujurat: 12.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم قَالَ أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ فَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Huraerah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Tahukah kamu apa Ghibah itu? Mereka (Sahabat) berkata, ’Allah dan Rasul Nya lebih mengetahui’. Ia bersabda, ’Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu (keaiban) yang ia tidak suka’, ada orang bertanya, ’Bagaimana bila pada saudaraku terbukti apa yang aku sebutkan?’ Beliau menjawab, ’Jika ada padanya apa yang engkau sebutkan, maka sungguh engkau telah Ghibah kepadanya dan jika tidak ada (apa yang engkau katakan) padanya, sungguh engkau Buhtan kepadanya (memfitnahnya)”. H.R. Muslim II: 526.
Mu’awiyyah ibnu Qurrah berkata kepada Syu’bah, ’Bila seorang yang putus tanganya lewat kepadamu, lalu kamu berkata, ’Orang ini buntung, maka yang demikian itu termasuk Ghibah. Al Qurthubi VIII: 219
Hissan bin Al Muqhoriq berkata,’ Sungguh seorang wanita masuk menemui ‘Aisyah, ketika wanita itu hendak pergi ‘Aisyah berisyarat dengan tangannya kepada Nabi saw. (yaitu: dia itu pendek), maka beliau bersabda,’Engkau telah Ghibah kepadanya.’ H.r. Ibnu Jarir At Thabari XI: 395.
Pengecualian
Ghibah itu pada dasarnya haram tapi ada beberapa hal yang bertalian dengan penyebutan keaiban orang yang tidak diharamkan, yaitu:
1. Pengaduan atas ketidakadilan, tidak diharamkan orang yang dianiaya (dizalim) menerangkan perbuatan si zalim kepada orang yang sekiranya dapat menghentikan ketidakadilan yang menimpa dirinya.
2. Memperkenalkan seseorang dengan menyebut keaiban yang merupakan ciri khas orang tersebut (dan ia ridha dengan sebutan itu), hingga orang lain dengan mudah dapat mengenalnya, seperti: Al-A’masy (yang rabun), Al-A’war (yang buta sebelah), Al-A’raj (yang pincang), dan lain sebagainya.
Dari Ibnu Umar, sesunguhnya Nabi saw. bersabda,’Sesungguhnya Bilal azan pada waktu malam, maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum azan. Kemudian ia (Ibnu Umar) berkata, ’Dan ia (Ibnu Ummi Maktum) itu seorang yang buta yang tidak azan hingga diberitahukan kepadanya: Engkau sudak masuk pada  pada waktu shubuh, engkau sudak masuk pada waktu shubuh”. H.R. Al Bukhari:617.
3. Minta fatwa, seperti seorang istri berkata kepada seorang mufti (pemberi fatwa): Suamiku itu seorang penjudi, apa yang semestinya aku perbuat?
4. Memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap seorang penjahat, penipu, yang tidak nyunah, tukang fitnah, yang berakhlak buruk dan lain sebagainya.


Menyebutkan aib seseorang dengan tujuan untuk kesenangan pribadi, menghinakan atau merendahkan, maka disebut Ghibah. Namun bila bertujuan untuk kebaikan/keselamatan muslimin maka dinamakan nasihat.


Amin muchtar

 


Pengunjung