Pengantar Diskusi Musik
Kaum Muslim dewasa ini menghadapi kesenian sebagai suatu masalah hingga
timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini,
boleh, makrūh atau harām? Di samping itu
dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, kaum muslim juga telah
terlibat dengan masalah seni.
Cabang seni yang
paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu
telah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena
semua cabang seni ini dirasakan langsung telah menimbulkan dampak negatif disamping
dampak positif yang menyertainya.
Bagaimana dengan kaum muslim pada masa lalu? Dilihat dari aspek sejarah pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di waktu itu ada 2 jenis musik: vokal dan musik instrumen. Musik vokal melahirkan: qit’a (fragmen); ghazal (lagu cinta) dan mawl (lagu tentang keindahan). Musik instrumen membuat terciptanya qasaba (nay), tabla (drum), duff (tamborin) dan qasa (cymbal) (lihat, visual jenis alat musik).
Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik intrumental yang mereka namakan dengan Iqa (irama dari alat musik semacam gendang, berbentuk rithm).
Setelah bangsa ‘Arab
masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru.
Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat
politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang, meski tidak sesubur masa
jahiliyyah. Hal ini tampak jelas dari beberapa riwayat yang menunjukkan praktek
seni suara & musik beserta alat-alatnya ketika itu, meskipun dilakukan pada
situasi dan kondisi tertentu, antara lain pada acara pesta pernikahan &
ied.
Dari berbagai riwayat
yang menunjukkan minimnya aktivitas seni ketika itu diasumsikan oleh sebagian
ulama bahwa pada asanya lagu & musik itu hukumnya haram. Riwayat-riwayat
itu diposisikan oleh mereka sebagai takhsis. Artinya dibolehkan pada sikon
tertentu dengan alat tertentu. Sedangkan ulama lain memandang sebaliknya, bahwa
riwayat-riwayat itu menunjukkan kebolehannya.
Dari sini kita dapat memahami apabila nyanyian dan musik
selalu menjadi wilayah khilaf di antara para ulama sepanjang zaman. Perbedaan
di antara mereka bermuara pada perbedaan penafsiran nas-nas yang mendasari
masing-masing pendapat.
Pada kesempatan yang terbatas ini, kita akan menyajikan
dalil-dalil & argumentasi dari kedua belah pihak, untuk selanjutnya
dianalisa dan dipilih yang arjah (lebih kuat)
Pendapat Kami
Secara umum penyebab perbedaan pendapat itu berkisar pada
dua hal. Pertama, sumber dalil, yaitu dalilnya kuat namun istidlalnya lemah dan
adapula yang dalilnya lemah meski istidlalnya kuat. Kedua, perbedaan metodologi
yang digunakan dalam beristinbath
Pertama, dalilnya kuat namun istidlalnya lemah dan dalilnya
lemah meski istidlalnya kuat.
Contoh 1: Kita ambil contoh penyebab perbedaan dari sisi
dalil yang kuat sanadnya namun lemah istidlalnya. Yaitu ayat Al-Quran
al-Kariem, dalam hal ini surat Luqman:6
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا
هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan.(QS. Luqman: 6)
Kita tahu bahwa Al-Quran itu kuat sanadnya karena semua
ayatnya mutawatir. Namun tidak selalu kuat istidlalnya manakala terdapat lafal
atau kalimat yang ghair sharih (tidak jelas dan tegas) sehingga menimbulkan multi
tafsir, dalam hal ini kalimat lahwal hadits.
Tentang makna lahwal hadits pada ayat ini paling tidak terdapat
9 penafsiran
أحدها : شراء المغنيات
لرواية القاسم بن عبد الرحمن عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « لاَ
يَحِلُّ بَيْعُ الْمُغَنِّيَاتِ وَلاَ شِرَاؤُهُنَّ وَلاَ التِّجَارَةُ فِيهِنَّ وَلاَ
أَثْمَانُهُنَّ وَفِيهِنَّ أنزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ
Pertama, syara al-mughanniyat
(membeli biduan). Berdasarkan riwayat al-Qasim bin Abdurrahman, dari Abu
Umamah, dari Nabi saw., belia bersabda, “"Tidak halal membeli dan menjual biduanita, tidak pula jual-beli
mereka, dan harga jual belinya juga haram. Dan tentang mereka Allah ta’ala
menurunkan ayat: waminan nasi...
الثاني : الغناء ، قاله
ابن مسعود وابن عباس وعكرمة وابن جبير وقتادة
Kedua, al-Ghina (nyanyian). Sebagaimana dikatakan Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abas, Ikrimah, Ibnu Jubair, dan Qatadah.
الثالث : أنه الطبل ، قاله
عبد الكريم
Ketiga, al-Thibl (gendang). Sebagaimana dikatakan Abdul
Karim
الرابع : المزمار ، قاله
ابن زخر
Keempat, al-Mizmar (seruling). Sebagaimana dikatakan Ibn
Zakhrin
الخامس : أنه الباطل ،
قاله ابن عباس و عطاء
Kelima, al-bathil (seruling). Sebagaimana dikatakan Ibn
Abas dan Atha
السادس: أنه الشرك بالله
، قاله الضحاك وابن زيد
Keenam, as-Syirku billah (syirik kepada Allah).
Sebagaimana dikatakan ad-Dhahak dan Ibnu Zaid
السابع: ما ألهى عن الله
سبحانه ، قال الحسن
Ketujuh, sesuatu yang melalaikan/memalingkan dari Allah.
Sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bishri
الثامن : أنه الجدال في
الدين والخوض في الباطل ، قاله سهل بن عبد الله
Kedelapan, Debat dalam urusan agama dan tenggelam dalam
kebatilan. Sebagaimana dikatakan Sahl bin Abdullah
التاسع : أنه السحر والقمار
والكهانة
kesembilan, sihir, judi, dan perdukunan. Namun tidak
jelas pendapat siapa
Hemat kami, perbedaan takwil itu disebabkan tidak ada
nash qath’i yang menjelaskan maksud kalimat tersebut, sehingga dalalah kalimat (penunjukan
terhadap makna) itu belum positif atau pasti. Meskipun demikian, kami meyakini
bahwa berbagai takwil tersebut tidak dimaksudkan untuk mentakhsis/ membatasi maksud
kalimat itu.
Terlepas dari perbedaan takwil lahwal hadits, yang jelas secara
mantuq (eksplisit) ayat itu tidak menunjukkan pengharaman tentang lagu, musik
atau nyanyian. Andaikata nyanyian dan musik termasuk ke dalam lahwal hadits,
maka yang dikecam oleh Allah melalui ayat tersebut bukan semata-mata lagu &
musik secara zati, karena Ibnu Mas’ud, Ibnu Abas, dan ulama lainnya tentu
mereka pun paham bahwa yang menjadi illatut tahrim yasytari lahwal hadits
dalam ayat ini disebutkan pada kalimat selanjutnya:
(1)
li yudhilla
‘an sabilillah (untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah)
(2) wa yattakhidzaha huzuwan (menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan)
Jadi inti persoalan bukan terletak pada nyanyian atau
bukan nyanyian.
Sehubungan
dengan ayat itu Imam al-Bukhari beristinbath
بَاب كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ
إِذَا شَغَلَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ
Bab Setiap Lahw adalah bathil apabila telah
menyibukkannya dari ketaatan kepada Allah. Selanjutnya al-Bukhari membuat
contoh perkataan yang termasuk lahwal hadits bathil. Siapa yang mengucapkan kepada
temannya: Ta’al uqaamirka (kemarilah aku akan berjudi dengan temanmu). (Shahih
al-Bukhari, Kitabul Isti’dzan, hal. 1334)
Penafsiran al-Bukhari ini kami anggap lebih tepat bila
kita analisa ayat itu secara kontekstual melalui sababun nuzul
Sesuai riwayat Ibnu Jarir, al-Firyabi, dan Ibnu Mardawaih
yang bersumber kepada Ibnu Abbas disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan seorang Quraisy yang membeli seorang budak wanita yang bisa menyanyi
untuk dijadikan alat menyesatkan manusia
وأخرج الفريابي وابن جرير وابن مردويه عن ابن عباس
رضي الله عنهما في قوله { ومن الناس من يشتري لهو الحديث } قال : باطل الحديث وهو الغناء
ونحوه { ليضل عن سبيل الله } قال : قراءة القرآن وذكر الله نزلت في رجل من قريش اشترى جارية مغنية
Dalam
riwayat lain dari Juwaibir yang bersumber kepada Ibnu Abbas, dikemukakan bahwa
ayat ini, turun berkenaan dengan an-Nadlr bin al-harts yang membeli seorang
budak biduanita. Apabila dia mendengar seseorang akan masuk Islam, ia
mengajaknya datang kepada biduanita itu dan menyuruh biduanita itu menyediakan
makanan dan minuman serta merayunya dengan alunan suaranya. an-Nadlr berkata
kepada orang yang dibujuknya itu : ini lebih baik daripada ajakan Muhammad yang
hanya menyuruh sholat, puasa dan berperang untuk kemenangannya.
Faidah:
Historis-kronologis
itu menunjukkan bahwa ayat ini turun dalam hal pengancaman orang-orang yang
berusaha menyesatkan manusia dari jalan Allah. Sampai disini maka kita bisa
menangkap, setiap usaha dalam bentuk apapun, selama itu dalam upaya mengalihkan
keberimanan seseorang dari Islam adalah tercela. Trend perbuatan tersebut
dimasa itu adalah dengan perantaraan nyanyian seorang wanita sebagai alat
propaganda.
Catatan:
Beda Takwil & Tafsir
Takwil
menjelaskan maksud suatu nash dengan dalil zhanni lewat ijtihad para ulama.
Karena itu dalalah maksudnya belum positif (pasti), boleh jadi yang dimaksud
adalah makna yang itu atau makna yang lain
Tafsir
menjelaskan maksud suatu nash dengan dalil qath’i. Karena itu dalalahnya
positif (pasti), tidak menerima pengertian lain.
Contoh 2: Hadits Nabawi Dalam salah satu hadits yang
shahih ada disebutkan tentang hal-hal yang dianggap sebagai dalil pengharaman
nyanyian dan musik. Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan
zina, sutera, khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
Karena hadits ini terdapat di dalam shahih Bukhari, maka
dari sisi keshahihan sudah tidak ada masalah. Sanadnya shahih meski ada juga
sebagian ulama hadits yang masih meragukanya. Namun dari segi istidlal, teks
hadits ini masih mengandung berbagai kemungkinan makna. Mari kita baca kembali
teks hadis ini secara cermat
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ
عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ ، يَعْنِي الْفَقِيرَ
، لِحَاجَةٍ ، فَيَقُولُوا : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ ، وَيَضَعُ
الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku
golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian
segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu
para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu
mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka
kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari
Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa
mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan
babi hingga hari kiamat."
Terkait
dengan hadis ini ada 2 hal yang perlu diperhatikan:
Pertama,
Imam al-Bukhari menempatkan hadis ini dalam
بَابُ مَا
جَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ
Bab keterangan tentang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan
Menamainya Bukan dengan Namanya (Shahih al-Bukhari, hal. 1205
Kitabul Asyribah)
Padahal
pada hadis itu tidak terdapat kalimat yang menunjukkan “penamaan khamr” Lalu
dari mana al-Bukhari mengambil wajhul istidlal sehingga membuat judul bab
seperti itu? Al-Bukhari mengambil dilalah dari jalur lain masih
dari sahabat yang sama (Abi Malik Al-Asy'ari)
لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ
"Segolongan dari umatku akan minum khamr dan mereka
menamainya bukan dengan namanya, mereka akan didatangi oleh para penyanyi
wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya."
H.r. al-Bukhari dalam at-Tarikhul Kabir, juga riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi
Syaibah (Lihat, Fathul Bari, X:55)
Dalam
riwayat Abu Daud & Ibnu Majah disebutkan
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ
"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya
dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan
melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke
dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan
babi."
Dari metodologi ini tampak jelas terlihat bahwa aksentuasi
hadis itu terletak pada pengharaman khamr.
Kedua, Apakah dengan hadis itu al-Bukhari
bermaksud mengharamkan alat music? Imam al-Bukhari tidak
sedikitpun menyinggung
masalah musik dan lagu.
Tapi andaikata hadis ini hendak dihubungkan dengan masalah
musik & lagu, maka dari
metodologi beliau bisa kita maklumi bahwa dilalah
yang paling tepat digunakan adalah musik dan lagu haram jika diiringi dengan
perbuatan maksiat (misalnya tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman
khamr, seperti yang
ditunjukkan oleh nash yang digunakan al-Bukhari melalui riwayat lain (seperti di atas)
Nash hadits tersebut di atas telah menjelaskan bentuk
permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara'. Bila ia melanggar
ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara seperti di atas),
maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini
kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti
itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda
Rasulullah saw. Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan
penyanyi wanita (bersama mereka)."
Dari keterangan di
atas dapat kita simpulkan bahwa maksud hadis al-Bukhari itu ditujukan kepada
segolongan orang-orang dari kaum muslimin yang berani menghalalkan penggunaan
alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara'.
Contoh 3: Hadits Nabawi Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling
gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan
kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau
dengar?`. Saya menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya
berkata:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw. mendengar
seruling gembala kemudian melakukan seperti ini. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Walaupun hadis ini shahih juga tidak tepat dijadikan
dasar untuk mengharamkan musik karena matan hadis tidak jelas menyatakan
haramnya suara seruling itu. Pada awalnya Ibnu Umar mendengar suara seruling
kemudian dia menutup telinganya seraya berkata kepada Nafi apakah ia
mendengarnya, Nafi memang mendengarnya dan terus mendengarnya sampai suara
seruling itu tidak terdengar lagi. Ketika Ibnu Umar memastikan kepada Nafi
apakah suara seruling itu tidak terdengar lagi, barulah ia menurunkan
tangannya. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Tindakan
seperti itu hanya menunjukkan ketidaksukaan Rasulullah SAW kepada suara
seruling tersebut dan bukan menunjukkan keharamannya.
Seandainya mendengar suara seruling itu haram maka Ibnu Umar pasti akan
menyuruh Nafi untuk menutup telinganya juga, serta mencari siapa yang memainkan
seruling itu (tidak hanya diam menunggu sampai suara seruling itu tidak
terdengar) untuk memperingatkan bahwa yang dilakukannya adalah haram. Hal ini
juga menyiratkan bahwa Rasulullah SAW ketika bersama Ibnu Umar ra juga tidak
menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika mendengar suara seruling
pengembara. Apalagi jika benar Rasulullah SAW mengharamkannya maka Ibnu Umar
pasti akan berkata Rasulullah SAW telah mengharamkan mendengar suara seruling
dan Ibnu Umar akan memberitahu kepada Nafi tentang ini, tapi yang ada malah
Ibnu Umar hanya berkata Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Oleh karena itu
hadis ini lebih tepat menunjukkan ketidaksukaan terhadap suara seruling dan
bukan pengharamannya.
Asy Syaukani dalam kitab Nailul Authar jili8 hal
27 menyatakan bahwa Tindakan Rasulullah SAW dan Ibnu Umar yang tidak
melarang pengembala tersebut untuk memainkan serulingnya adalah dalil yang
menunjukkan ketidakharamannya. Selain itu Abu Dawud juga mencantumkan hadis
ini dalam Bab Makruhnya Lagu dan Seruling yang menunjukkan bahwa Abu
Dawud sendiri memahami kalau hadis ini tidak menunjukkan haramnya lagu dan
seruling.
Catatan
tambahan
Ucapan
maka beliau melakukan seperti ini
Padanya
terdapat dalil bahwa bagi orang yang mendengar mizmar disyariatkan untuk
berbuat seperti itu (Nabi menutup telinga). Namun terdapat kemusykilan dengan
adanya izin Ibnu Umar terhadap Nafi untuk mendengar. Ada kemungkinan karena
waktu itu belum baligh.
وَأَجَابَ الْمُجَوِّزُونَ
عَنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ الْمُتَقَدِّمِ فِي زَمَّارَةِ الرَّاعِي بِمَا تَقَدَّمَ
مِنْ أَنَّهُ حَدِيثٌ مُنْكَرٌ .وَأَيْضًا لَوْ كَانَ سَمَاعُهُ حَرَامًا لَمَا أَبَاحَهُ
- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِابْنِ عُمَرَ وَلَا ابْنُ عُمَرَ لِنَافِعٍ
وَلَنَهَى عَنْهُ وَأَمَرَهُ بِكَسْرِ الْآلَةِ ؛ لِأَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ عَنْ
وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ .وَأَمَّا سَدُّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- لِسَمْعِهِ فَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ تَجَنَّبَهُ كَمَا كَانَ يَتَجَنَّبُ كَثِيرًا مِنْ
الْمُبَاحَاتِ كَمَا تَجَنَّبَ أَنْ يَبِيتَ فِي بَيْتِهِ دِرْهَمٌ أَوْ دِينَارٌ وَأَمْثَالُ
ذَلِكَ .لَا يُقَالُ يُحْتَمَلُ أَنَّ تَرْكَهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
- لِلْإِنْكَارِ عَلَى الرَّاعِي إنَّمَا كَانَ لِعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى التَّغْيِيرِ
.لِأَنَّا نَقُولُ : ابْنُ عُمَرَ إنَّمَا صَاحَبَ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ - وَهُوَ بِالْمَدِينَةِ بَعْدَ ظُهُورِ الْإِسْلَامِ وَقُوَّتِهِ ، فَتَرْكُ
الْإِنْكَارِ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ التَّحْرِيمِ – النيل 8: 110 –
Disamping dengan hadis-hadis itu, kelompok ulama yang
mengharamkan lagu & musik mengajukan pula beberapa dalil lainnya, meskipun
sebagai pendukung. Namun hemat kami, hadis-hadis itu tidak dapat dipakai
sebagai hujjah, dengan alasan-alasan yang telah ditulis dalam makalah ini.
Aspek metodologi
Di awal telah
disebutkan bahwa dari berbagai riwayat yang menunjukkan minimnya aktivitas seni
ketika itu diasumsikan oleh sebagian ulama bahwa pada asalnya lagu & musik
itu hukumnya haram. Riwayat-riwayat itu diposisikan oleh mereka sebagai
takhsis. Artinya dibolehkan pada sikon tertentu dengan alat tertentu. Sedangkan
ulama lain memandang sebaliknya, bahwa riwayat-riwayat itu menunjukkan
kebolehannya. Kelompok yang mengharamkan menggunakan pendekatan istihsan. Sedangkan
yang membolehkan menggunakan istishab.
Kerangka
Berfikir Istihsan
Istihsan adalah meninggalkan hukum
yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar dalil syara', dengan menetapkan hukum lain dari peristiwa atau kejadian
itu juga, karena ada dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Dalil yang terakhir disebut itu sandaran istihsan.
Berdasarkan pendekatan ini maka hadis-hadis tentang
aktivitas seni suara & lagu merupakan pengecualian hukum yang ditetapkan
sebelumnya. Ini berarti pada asalnya lagu & alat-alat musik itu hukumnya
haram, lalu menjadi mubah pada kondisi dan alat-alat tertentu sesuai dengan
yang diterangkan dalam hadis.
Kerangka
Berfikir Istishab
(1)
Istishab adalah menetapkan hukum sesuatu
berdasarkan keadaan yang terjadi sebelumnya, hingga ada dalil yang merubahnya
(2)
Istishab adalah menjadikan hukum suatu
peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.
Kesimpulan: Istishab bukan untuk menetapkan suatu hukum
baru, tetapi melanjutkan hukum yang telah ada dan bukan untuk menetapkan yang
belum ada.
الْأَصْلُ
بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
"Mustashab
itu adalah ketetapan hukum sesuatu sebagaimana hukum yang ada sebelumnya.
Berdasarkan pendekatan ini maka hadis-hadis tentang
aktivitas seni suara & lagu bukan untuk menetapkan hukum baru (mubah), tetapi
melanjutkan hukum yang telah ada sebelumnya, yaitu mubah sejak awal.
Berdasarkan
teori itu, maka hukum kemubahan itu berlaku secara mutlak – menjadi luas/tidak
terbatas (baik pada kondisi maupun alat-alat tertentu)- selama tidak
mendatangkan mafsadat