PERANAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
BAB I
PARTAI POLITIK
Menurut Carl Friderich sebuah
partai politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisir yang stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintahan bagi pimpinan
partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota
partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya.
Jadi dengan demikian menurut
penulis sendiri partai politik adalah sekelompok orang-orang yang memiliki
ideologi yang sama, berniat berbut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan
untuk (menurut pendapat mereka pribadi yang paling idealis) memperjuangkan
kebenaran, dalam sesuatu level (tingkat) negara.
BAB II
KEKUATAN POLITIK
Partai politik adalah salah
satu dari infra struktur politik, sedangkan infrastruktur politik di Indonesia
meliputi keseluruhan kebutuhan yang diperlukan di bidang politik dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas yang berkenaan dengan asal mula, bentuk dan proses
pemerintahan yang berlevelkan negara. Hal ini dapat dikaji dengan melihat
berbagai organisasi, sistem dan prosedur kerja. Oleh karena itu ada organsisasi
politik yang resmi tampak seperti partai politik, perkumpulan buruh, tani,
nelayan, pedagang, organsisasi wanita, pemuda, pelajar, militer dan lain-lain.
Tetapi ada pula organisasi abstrak yang tidak resmi namun sangat menguasai
keadaan sebagai elite power, disebut juga dengan grup penekan (pressure group)
seperti kelompok kesukuan, fanatisme keagamaan dan kelompok tertentu yang
berdasarkan almamater.
Selanjutnya marilah kita lihat
keberanaan NU dan Muhammadiyah, yang walaupunbukan sebagai partai politik saat
ini, tetapi begitu besar pengaruhnya bagi eksistensi umat Islam di Indonesia
sebagai organsisasi Islam terbesar.
1. Nahdlatul Ulama
2. Muhammadiya
3. Tarbiyah Islamiyah
4. Mahasiswa
5. Wartawan
6. Pengusaha
BAB III
BUDAYA POLITIK INDONESIA
Kebudayaan dalam bahasa
inggris “culture” dalam Bahasa latin “colere” juga diistilahkan
dengan peradaban atau budi yang dalam bahasa arab “akhlak”.
Di Indonesia, kebudayaan
secara etimoligi berasal dari kata sangsekerta yaitu “buddhayah” bentuk
jamak dari kata buddhi (akal) sehingga dikembangkan menjadi budi-daya,
yaitu kemampuan akal budi seseorang ataupun kelompok manusia.
Para sarjana telah pula
memberikan definisi tentang kebudayaan ini yaitu antara lain:
Menurut Prof. Dr.
Kontjaraningrat: “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya dalam rangka kehidupan masyarakan, yang dijadikan milik dari
manusia dengan belajar”.
Menurut Dr. Moh Hatta:
“kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa”.
BAB IV
BUDAYA POLITIK JAWA
Budaya politik kawula gusti
sebenarnya dapat dikaji dari etika jawa, yang terkenal tabah tetapi ulet.
Mereka memang sudah sejak dari dulu terpatri dalam kromo inggil yang
ternukil dalam berbagai falsafah hidup. Misalnya dalam kepasrahan menghadapi
rintangan hidup, mereka menyebut “nrimo” (menerima dengan pasrah).
Sebaliknya dalam meniadakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka
memakai istilah “ojo dumeh”(jangan mentang-mentang).
Untuk meningkatkan kebersamaan
dan kekeluargaan mereka beristilah “mangan ora mangan pokok-e kumpul”
(makam tidak makan yang penting kumpul). Dalam menatap pekerjaan agar teliti
dan berhati-hati walaupun kemudian memerlukan waktu, mereka beristilah “alon-alon
waton kelakon” (pelan-pelan asal tercapai).
Dalam politik orang jawa
relatif lebih merendah dibanding suku-suku lain di Indonesia, yang terwujud dari
bagaimana cara mereka memasang keris. Bila orang Bugis-Makasar, Minangkabau,
Banjarmasin dan Aceh masing-masing menyelipkan badik, keris, mandau dan rencong
mereka pada dada dan perut (didepan), maka orang jawa menyimpan kerisnya di
punggung (di belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang
menilai kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang jawa lebih senang
berkelahi dari belakang dari pada berhadap-hadapan.
BAB V
BUDAYA POLITIK SUNDA
Dalam kisah leluhur sunda
beredar cerita Dayang Sumbi yang identik dengan kisah Odhipus Complex di
Yunani Kuno. Bedanya di Sunda lebih ditekankan pada kecantikan sang ibu yang
senantiasa terawat tubuhnya. Sampai saat ini kebiasaan makan daun-daunan segar
masih kental di Jawa Barat yang disengaja ataupun tidak berdampak positif untuk
perawatan kulit. Namun demikian data lain memperlihatkan bahwa kawin cerai,
membuang anak, serta perebutan harta warisan paling tinggi ditemukan di daerah
ini.
Istilah-istilah dalam
perkawinan seperti “nyalindung ka gelung” (berlindung kepada istri) atau pun
“manggih kaya” (numpang kaya) dijadikan sindiran untuk memperlihatkan bahwa
unsur materialistis menjadi rujukan utama. Itulah sebabnya perkawinan muda usia
masih sering ditemui. Karena rawannya usia tersebut dalam mengenal arti
kehidupan perkawinan, maka perceraian merupakan eses yang tidak dapat
dihindari.
BAB VI
BUDAYA POLITIK BATAK
Orang Batak terkenal paling
eksistensialis dalam menantang hidup dan kehidupan ini, sehingga di kalangan
anak-anak muda dikenal istilah Batak Tembak Langsung (BTL). Maksunya,
seseorang yang tinggal dipedalaman Sumatra Utara, tidak perlu haru lewat Medan
untuk menuju Jakarta atau pun luar negeri sekalipun.
Dalam mengemukakan pendapat,
orang Batak cenderung spontan tanpa tendeng aling-aling, sehingga
demokrasi dalam pembangunan politik akan berkembang pesat apabila mengikuti
tradisi putra Batak, terutama dalam penyelenggaraan politik di negara tercinta
ini. Istilah yang paling lazim disampaikan dalam pembicaraan sehari-hari adalah
“ise nan mangator nagaraon”. Sedangkan terhadap pihak yang dianggap
sudah akrab mereka menyebutnya “halak kita” sebagai persaudaraan,
disamping “lai”.
Kalau tidak akrab sekali
dengan mereka, sulit untuk menembus adat Batak ini karena antar mereka terjadi kawin-kawin
yang mengentalkan kekerabatan. Ada 4 ada pengikat dalam peminangan perkawinan
yaitu upa suhu, upa jalobara, upa tulang dan upa pariban. Apabila tidak
terpenuhi mengakibatkan “sirang ala sinamot”.
BAB VII
ANALISA POLITIK
Dengan kesadaran bahwa waktu
kedewasaan republik ini sudah tiba maka sejak reformasi dilakukanlah perubahan
dengan pemberian amandemen kepada UUD 1945, namun Pembukaan UUD 1945 tidak akan
dilakukan perubahan sedikitpun karena memiliki tujuan negara dan falsafah dasar
negara.jadi apabila pada masa orda baru MPR sebagai badan yang menurut UUD 1945
sendiri berhak merubah dan mereka tidak berkehendak untuk merubahnya, maka yang
dimaksud adalah untuk tidak merubah Pembukaan UUD 1945 itu sendiri.
Lebih jauh dari pada itu
golongan anggota MPR yang melemparkan isu mengganti UUD 1945 dan Pancasila
karena keduanya bukanlah kitab suci yang perlu dipertahankan, maka pancasila
sebagai bagian dari kaidah dasar negara (state fundamental norm) sudah barang
tentu tidak terlalu jauh dari keinginan membubarkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia itu sendiri.
Untuk topik ini akan penulis
uraikan sendiri dalam kesempatan lain karena berbagai agama sudah membicarakan
bagaimana munculnya rasa kebangsaan pada diri setiap individu.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................
BAB I PARTAI POLITIK....................................................................
BAB II KEKUATAN POLITIK............................................................
BAB III BUDAYA POLITIK
INDONESIA..........................................
BAB IV BUDAYA POLITIK JAWA.....................................................
BAB V BUDAYA POLITIK SUNDA...................................................
BAB V IBUDAYA POLITIK BATAK.................................................
BAB VII ANALISA POLITIK.................................................................
DAFTAR PUSTAKA